REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis hakim Pengadilan Hubungan Industrial DKI Jakarta telah mengabulkan sebagian gugatan yang dilayangkan 18 mantan pilot Lion Air kepada direksi Lion Air. Dalam putusannya, Majelis Hakim memerintahkan manajemen Lion Air untuk memenuhi seluruh hak-hak para pilot yang di-PHK, termasuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan.
Kapten Eki Adriansjah menuturkan, gugatan tersebut bermula saat direksi Lion Air melakukan pemutusan hubungan kerja pada 18 pilotnya pada Agustus 2016 lalu. Pemutusan hubungan kerja ini sebagai buntut dari keputusan para pilot yang menolak menerbangkan pesawat pada 10 Mei 2016 silam.
Padahal, menurut Eki, ia dan rekan-rekannya memiliki alasan kuat yang menjadi dasar sikap mereka menolak terbang. Para pilot merasa kondisi psikologis mereka tidak memungkinkan untuk menerbangkan pesawat dan hal itu sudah sesuai dengan standar operasional maskapai.
"Larangan menerbangkan pesawat bagi pilot yang tidak sedang dalam kondisi psikologis yang baik sudah diatur jelas dalam konvensi penerbangan internasional dan bahkan di dalam SOP yang dikeluarkan oleh pihak Lion Air sendiri," kata Eki, dalam keterangan tertulisnya.
Lalu, apa yang membuat kondisi psikologis para pilot Lion Air terganggu? Eki menuturkan, terganggunya kondisi psikologis para pilot pada hari itu dipicu oleh kekecewaan dan keresahan terkait praktik manajemen yang tidak profesional dan seringkali merugikan para pilot. Kendati begitu, ia tidak menjelaskan secara rinci masalah manajemen yang dimaksud.
Sejak aksi mogok terbang itu, para pilot tersebut tidak lagi diberikan jadwal terbang tanpa alasan yang jelas. Sampai akhirnya, mereka menerima surat pemecatan pada Agustus 2016 lalu. Tak hanya melakukan pemutusan hubungan kerja, Lion Air juga mewajibkan para mantan pilotnya untuk membayar ganti rugi karena menganggap mereka telah melakukan wanprestasi terhadap perusahaan.
Selain itu, sambung Eki, manajemen Lion Air bahkan juga sempat melaporkan 18 mantan pilotnya ke Bareskrim Mabes Polri atas tuduhan sabotase dan pencemaran nama baik.
Persoalan ini pun akhirnya berujung di pengadilan karena 18 mantan pilot Lion Air menolak membayar ganti rugi. Lion Air menggugat mereka secara perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada November 2016 lalu, dengan gugatan wanprestasi. Gugatan perdata tersebut tidak dikabulkan oleh majelis hakim yang menyidangkan perkara ini.
Di waktu yang hampir bersamaan, menurut Eki, ia dan rekan-rekannya juga memutuskan untuk menggugat Lion Air ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) DKI Jakarta. PHI DKI Jakarta kemudian menyatakan bahwa hubungan kerja antara pilot dan pihak maskapai bukan merupakan hubungan perdata, melainkan hubungan ketenagakerjaan yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan. Oleh karenanya, pemutusan hubungan kerja yang dilakukan oleh pihak Lion Air harus mengikuti ketentuan yang ada pada UU Ketenagakerjaan. Dengan demikian, maskapai tetap wajib memenuhi hak-hak para pilot yang di-PHK.