Jumat 13 Oct 2017 05:01 WIB

Nostalgia Padang Lama: Susah Payah Bangkitkan Muruah Kota Tua

Sungai Batang Arau dipotret dari atas Jembatan Siti Nurbaya. Wilayah ini menjadi cikal bakal lahirnya Kota Padang Modern.
Foto:
Salah satu sudut Kota Tua Padang, terletak di Jalan Batang Arau. Tak sedikit bangunan peninggalan kolonial yang kini terbengkalai.

Bicara soal Padang Lama sebetulnya menyangkut banyak aspek historis, termasuk masing-masing peran kawasan dan bangunan-bangunan yang tersisa di masa modern ini. Upaya konservasi bangunan cagar budaya menjadi kunci untuk menyelamatkan aset-aset bersejarah di Kota Padang. 

Kepala Prodi Arsitektur Universitas Negeri Padang Ika Mutia mengungkapkan harapannya agar bangunan-bangunan tua di Padang Lama tidak hancur dimakan waktu. Namun, konservasi bangunan tua bukan pekerjaan mudah karena ada urusan biaya, perizinan, dan kesesuaian dengan bentuk asli. 

Ika menuturkan Kota Padang memiliki 12 bangunan cagar budaya tipe A yang masih berdiri. Klasifikasi tipe A atau klasifikasi utama memiliki arti, fisik bangunan ini tak boleh diubah sama sekali. 

Bangunan tipe A ini termasuk Gedung Eks Balai Kota Padang, Kantor Bank Mandiri di Muaro, Kantor Bank Indonesia (DJB) di Muaro, Istana Gubernur Sumatra Barat, Gudang Panca Niaga atau Eks Geo Wehry & Co, dan Kantor Bank Mandiri yang berada di Jalan Sudirman.

Selain itu, ada pula Vihara Tri Dharma atau Kelenteng Hoet Tjo, sebuah rumah tinggal di Pasar Hilir nomor 70-72, Hotel Nagara di Pasar Mudik 22-24, Kantor PTUN Padang, Gereja Biaro St Leo, dan terakhir adalah Masjid Raya Ganting. 

Tak sedikit bangunan yang dibiarkan menua dan perlahan roboh lantaran minimnya dana untuk merawat. Masih mending bila bangunan itu dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bisa ditegur pemerintah. 

Namun bila bangunan tersebut milik perorangan, jalan untuk melakukan konservasi tak semudah yang dibayangkan. Bangunan yang dimiliki oleh pribadi menghadapi tantangan konservasi yang berat lantaran terbatasnya dana si pemilik bangunan.

Kepala Dinas Pariwisata Kota Padang Medi Iswandi menjelaskan, urusan soal konservasi bangunan tua sebetulnya jelas diatur dalam Undang-Undang (UU) nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. UU tersebut menyebutkan bahwa pemilik atau pihak yang menguasai cagar budaya berkewajiban menjaga dan merawat bangunan cagar budaya yang dimiliki atau dikuasainya. 

Namun, pendanaan konservasi tak bisa sembarangan. Dalam aturan keuangan daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah tidak diperbolehkan mendanai perawatan bangunan yang bukan milik atau aset dari pemerintah tersebut. 

Medi melanjutkan hal ini yang membuat Pemkot Padang atau Pemprov Sumatra Barat tak bisa sembarangan melakukan pembiayaan perbaikan gedung tua. "Bangunan milik pemda padang setahu saya hanya Gedung Joeang. Selebihnya adalah bangunan milik swasta, masyarakat, dan BUMN," ujar Medi saat ditemui di Gedung Joeang 45.

Namun bila terpaksa, Medi menuturkan, bisa saja pemerintah melakukan penyitaan terhadap cagar budaya yang tidak dipelihara pemiliknya. Jurus ini disebut jalan terakhir untuk menyelamatkan bangunan cagar budaya yang nyaris roboh, yang dimiliki oleh perorangan.

"Ada upaya lain jika dibiayai dengan APBD yaitu melalui pendanaan dengan mekanisme hibah. Namun hibah juga ada aturannya, dan tak sederhana," ujar Medi.

Bagi Medi, solusi terampuh dalam mendanai upaya konservasi cagar budaya adalah dengan menggandeng pihak swasta seperti yang dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta untuk Kota Tua Jakarta. Artinya, bangunan-bangunan yang terlantar diperbaiki dengan serapan dana CSR.

Ia berharap cara ini bisa memaksa BUMN pemilik bangunan cagar budaya untuk segera bergerak melakukan perbaikan dan perawatan gedung. "Kami masih persuasif dengan upaya sosialisasi, tapi jika akhir tahun ini nggak gol juga, kami akan release BUMN yang melanggar undang undang cagar budaya, kami umumkan di media," ujar Medi. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement