Selasa 10 Oct 2017 19:09 WIB

KPK Jadi Instansi Pemerintah, Laode: Bagian Stranas PPK

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Bayu Hermawan
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Wakil Ketua KPK Laode Muhamad Syarif

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif mengatakan, terkait pernyataannya bahwa KPK akan menjadi instansi pemerintah, hal itu adalah bagian dari Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK).

"Artinya, KPK akan menjadi leading agency untuk pelaksanaan Stranas PPK bersama Kantor Staf Presiden Kepresidenan, Bappenas dan Kementerian Dalam Negeri. Tidak ada hubungannya dengan lembaga ad hoc," kata Syarif saat dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (10/10).

Syarif menuturkan, legalisasi terkait Stranas PPK sedang disusun. Nantinya, dalam Stranas PPK itu pihak KPK diwakili oleh Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan. "Dalam menjalankan Stranas PPK tersebut nanti di KPK akan dipimpin oleh Deputi Pencegahan," ujarnya.

Sebelumnya, Syarif berharap agar pemerintah selalu mendukung KPK dalam memberantas korupsi. Bahkan, angin segar berupa dukungan pun sudah diberikan oleh Presiden Joko Widodo.

"Kami harap parlemen dapat membantu KPK, pemerintah juga demikian dan saya pikir juga mendukung. Bentuk dukungannya banyak, misalnya pemberantasan korupsi dikerjakan bersama, komunikasi dengan kantor presiden, bahkan nanti KPK jadi salah satu instansi pemerintah yang melaksanakan pencegahan dan pemberantasan korupsi, drafnya sedang disiapkan," jelas Syarif, Senin (9/10).

Syarif melanjutkan, saat ini salah satu rekomendasi yang didapat setelah adanya review dari DPR dan pemerintah, adalah KPK dilihat sebagai best practices di dunia.

"Tapi dibalik itu ada juga yang harus diperbaiki seperti ketidaklengkapan regulasi, ketidaklengkapan regulasi ini maka harusnya itu ditindaklanjuti oleh pemerintah dan parlemen, itu yang belum dilaksanakan walaupun KPK berharap, pertama RUU tentang ekstradisi, yang kedua RUU tentang perampasan aset itu harus diselesaikan karena itu rekomendasi dari review pertama," ujarnya.

Syarif menyayangkan, DPR tidak memprioritaskan review pertama tersebut. "Seharusnya tugas DPR digaji adalah memprioritaskan hal tersebut, karena itu kan sudah ada draftnya di DPR cuma tidak masuk ke prolegnas, jadi tidak dijadikan prioritas padahal itu sifatnya prioritas," ujarnya

"Nah, di prolegnas kan ada di pemerintah, ada di Kemenkumhan, Kenkumham sudah masukan draftnya di DPR dan DPR itu kan harusnya dari segi pemerintah itu dianggap sebagai sesuatu yang harus segera dilakukan tetapi sayangnya itu tidak dijadikan prioritasnya," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement