Selasa 10 Oct 2017 11:35 WIB

Pemilihan Rektor IPB, Babak Baru Demokrasi di Perguruan Tinggi Indonesia

Institut Pertanian Bogor (IPB).
Foto:
Institut Pertanian Bogor (IPB).

Inilah dunia akademik. Inilah babak baru demokrasi di PT. Pada setiap fase pengambilan keputusan akhir, Pimpinan SA selalu bertanya untuk meyakinkan semua: apakah keputusan sah?

Setelah enam orang terpilih, sehari lalu kami  memasuki tahap penting untuk menjaring menjadi tiga. Seperti tahap sebelumnya, untuk menentukan mekanisme secara operasional pada fase ini, dilakukan diskusi panjang yang melibatkan semua anggota SA.

Tidak ada rasanya rekayasa atau hal-hal yang dapat dipandang mencerminkan tidak transparansnya proses yang akan dilakukan. Atas kesepakatan bersama, setelah ke-6 orang presentasi, akan diupayakan pengambilan keputusan atas dasar musyawarah untuk mufakat.

Namun setelah melalui diskusi yang alot, akhirnya diputuskan pengambilan suara. Yang menarik dalam diskusi tersebut anggota SA menyampaikan berbagai pemikirannya, untuk mengingatkan penentuan pilihan oleh anggota SA hendaknya didasarkan pada potensi para calon untuk memimpin IPB yang lebih baik ke depan.

Berbagai argumentasi ilmiah, ada yang diperkuat dengan pandangan  dari nilai-nilai keagamaan mewarnai diskusi. Inilah IPB, berjalan dengan keberagaman, untuk satu tujuan mencari dan memberi yang terbaik.

Pada akhirnya tiga calon rektor sudah ditentukan. Saya melihat wajah-wajah memancarkan rasa lega.

Ucapan selamat datang dari semua. Yang tidak terpilih pun merasa kolega yang akan melanjutkan langkah adalah pilihan terbaik dari yang ada. Hal yang sama juga saya pernah tanya kepada beberapa bakal calon yang tidak masuk enam besar, bakal calon dari unit kerja dan juga alumni. Tidak ada komplain karena mereka sendiri merasa semua proses sudah dilakukan sebagaimana mestinya.

Kami, Panitia Pemilihan Rektor, yang terdiri dari perwakilan MWA, SA, unit-unit kerja dan alumni, sejak bulan April lalu sudah mulai berkeliling ke unit-unit kerja, untuk menyampaikan rincian jadwal dan tata cara pemilihan rektor. Saya sendiri selain ke beberapa unit di IPB, juga bertatap muka langsung dengan rekan-rekan senior alumni. Para senior yang saya yakin masih besar cintanya pada IPB.

Saya menyadari kita adalah manusia. Tidak ada kesempurnaan dari setiap mekanisme apapun yang kita buat di dunia. Kita  tentu bukan sang Maha Pencipta. Yang dalam setiap takdir atas makhluk-Nya, adalah kesempurnaan semata.

Analogi kecil saja dari diri saya sendiri untuk ada saatnya kita kadang harus memberikan kepercayaan. Pada saat menempuh kuliah sarjana saya mendapatkan nilai C untuk satu mata kuliah, dimana teman-teman mahasiswa saya sebagian besar mendapat A dan B.

Saya tentu merasa kesal. Bagaimana mungkin? Karena saya menjawab setiap pertanyaan esay disertai daftar pustaka. Dengan gejolak jiwa muda, saya menuntut untuk bertanya. Namun saya kemudian menyadari tidak patut disalahkan bila ada dosen yang tidak memberikan kesempatan mahasiswa untuk melihat berkas ujiannya.

Alhamdulillah, dengan peraturan yang kemudian ada saya tetap berhasil diwisuda dengan cum laude, karena di IPB meskipun sarjana mempunyai IPK 3,9, namun ada lebih dari satu atau hanya mendapat satu C pada mata kuliah dasar, maka predikat cuma laude tidak akan dapat diberikan.

Inilah IPB. Dan saya tidak tahu apakah IPB akan bersedia berubah; hanya karena ada peraturan baru dari banyak instansi Pemerintah yang menerima lulusan hanaya bila cum laude. Terlebih rasanya hanya di IPB yang bila mendapatkan nilai mutu C, tidak dapat dperbaiki. Di tempat lain, nilai B saja bisa  diulang oleh mahasiswa.

Untuk mengubah hal ini harus melalui SA. Kadang ada muncul.suara. Namun untuk membahasnya saja sepengetahuan saya para kolega tidak bersedia.  Dengan satu contoh kecil ini saja, masih perlukah ada kekhawatrian proses penjaringan calon rektor dilakukan dengan mengabaikan tata kelola?

Jayalah IPB kita!

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement