Senin 09 Oct 2017 16:10 WIB

Pengusaha dan Pemda Komitmen Gerakan 'Beli Sragen'

Sejumlah pengusaha berkomitmen 'Beli Sragen' sebagai salah satu upaya untuk menyukseskan pengusaha lokal.
Foto: IIBF
Sejumlah pengusaha berkomitmen 'Beli Sragen' sebagai salah satu upaya untuk menyukseskan pengusaha lokal.

REPUBLIKA.CO.ID, SRAGEN -- Lebih dari 500 pengusaha berkomitmen untuk mengentaskan kemiskinan melalui komitmen 'Beli Sragen', Kamis (4/10). Pengusaha terdiri dari lintas organisasi seperti KNPI, HIPMI, Kadin, dan juga Indonesia Islamic Business Forum (IIBF). Acara bertajuk 'Saatnya kita bangkit' itu adalah rangkaian pengukuhan pengusaha baru dari program sekolah bisnis Sragen sekaligus pembukaan program baru pencetakan wisausaha muda di daerah ini.

Dodok Sartono inisiator program ini mengatakan peminat sekolah bisnis Sragen rata-rata lebih dari 500 calon pengusaha yang mendaftar. "Setelah proses seleksi yang diterima hanya 50 orang," kata Dodok, melalui siaran pers kepada Republika.co.id.

Selain harus mengikuti semua rangkaian program, untuk dinyatakan lulus program tersebut peserta harus mampu menghasilkan sales minimal 50 juta perbulan dari usaha yang dirintisnya.

Bupati Sragen Kusnidar Untung Yuni Sukowati memberikan perhatian khusus pada program tersebut. “Saya sangat senang dan mengapresiasi program ini. Tadi saya mendengar bahkan ada yang sudah memiliki karyawan hingga 20 orang. Saya minta agar para dinas terkait dapat membantu memfasilitasi program ini agar selaras dengan program pengentasan kemiskinan di kabupaten,” ujar Bupati Sragen dalam sambutannya.

Yuni menuturkan jumlah penduduk miskin Sragen yang berada diatas ambang  batas nasional memang menjadi komitmen kepemimpinannya. Di Sragen, jumlah penduduk miskin masih mencapai 13 persen. Dia berharap komitmen membeli produk lokal dan memajukan produk UMKM melalui 'Beli Sragen' bisa berkontribusi menurunakn angka kemiskinan.

"Saya sudah kumpulkan pemilik jaringan minimarket agar mau menampung produk-produk asli Sragen. Kalau tidak tidak usah diperpanjang. Itu arahan saya pada dinas. Kalau mall sikap saya jelas, tidak. Selanjutnya masyarakat juga harus mau membela," kata dia.

Presiden IIBF Heppy Trenggono dalam kesempatan itu memberikan kuliah umum 'Saatnya kita bangkit'. Penggagas gerakan 'Beli Indonesia' ini pun ikut memberikan apresiasi atas keberhasilan program pengembangan usaha di Sragen. Dia memuji bupati Sragen sebagai salah satu pemimpin yang memahami apa yang harus dilakukan dan apa yang perlu di bela dalam hal mengentaskan kemiskinan di daerahnya.

“Sangat sedikit bupati atau walikota yang memahami hal seperti ini. Bahaya nya minimarket berjaringan. Hingga radius 3 km dari lokasi minimarket warung-warung rakyat gulung tikar," kata Heppy.

Heppy menyaratkan dua hal harus dibasmi untuk mesukseskan program entrepreneurship yang ujungnya adalah pemberantasan kemiskinan. Yang pertama yakni persoalan kultural dan juga struktural. Menurut dia, keduanya harus dibabat habis agar kemiskinan bisa segera diatasi.

"Tanpa kita sadari bahwa konsep sukses anak-anak kita sudah bergeser. Perhatikan ya, ditengah-tengah masyarakat kita, definisi sukses itu jika mampu membeli ini dan itu. Padahal Cina hari ini disebut sukses bukan karena banyak membeli tetapi karena jualannya kemana-mana. Pertanyaan saya, lebih banyak mall yang berdiri atau pabrik yang berdiri hari ini? Bagaimana bangsa kita tidak miskin," kata Heppy.

Dari pola pikir yang begitu, kata Heppy, banyak orang tua yang menganggap ‘jualan’ seperti aib. “Banyak tetangga dikampung yang nitip anak disaya cuma catatannya kalau bisa jangan dijadikan sales. Ekonomi itu jika diperas namanya perdagangan. Jika diperas lagi namanya jualan. Tanpa jualan batu bara, minyak bumi, tidak akan menghasilkan uang/kekayaan,” ungkap dia.

Menurut Heppy, itulah tantangan kultural yang harus dibabat habis. Selanjutnya adalah persoalan struktural. Maju mundurnya sebuah bangsa sangat dipengaruhi sektor swastanya.  Sayangnya, kata Heppy, swasta dalam negeri sulit berkembang dengan berbagai kendala yang sering di hadapi. Perizinan yang rumit dan berbelit adalah contohnya.

"Bahkan di Jakarta ada zonaisasi, hanya pada alamat tertentu yang bisa mendapatkan izin usaha. Perizinan ini luas lingkupnya," kata Heppy.

Selain itu, Heppy juga menyayangkan masih banyak peraturan yang tajam kebawah tumpul keatas. Jika sebuah kasus menimpa perusahaan besar, Heppy mencontohkan, pemerintah terkesan berbelit mengusut tuntas tetapi ketika kasus menimpa pengusaha kecil, pemerintah seolah cepat sekali bertindak.

"Dulu usaha pengisian air ulang menjamur dimasyarakat, lalu ada berita yang mengungkapkan penelitian pada suatu perguruan tinggi bahwa air isi ulang intinya tidak sehat. Hal itu di bahas setiap hari. Akibatnya banyak pengusaha isi air ulang berguguran," kata dia.

Heppy menegaskan pembangunan ekonomi memiliki prinsipnya sederhana, yaitu jualan kemana saja, tetapi beli dari sudara sendiri. Itulah spirit beli Indonesia. Sebeluumnya, program serupa sudah diimplementasikan di Kulonprogo dan diklaim sebagai salah satu upaya mengurangi kemiskinan. Dia yakin, jika program 'Beli Sragen' diimplementasikan akan dapat membantu pemda Sragen mengentaskan kemiskinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement