Jumat 06 Oct 2017 13:55 WIB

Sri Mulyani Memulai, Mampukah Dia Mengakhiri?

Menteri Keuangan Sri Mulyani saat berlibur di Labuan Bajo.
Foto:
Menkeu Sri Mulyani Indrawati

Persoalannya bukan pada rasio utang negara terhadap PDB yang masih dibawah 30% tetapi pada kemampuan (ketimpangan) pendapatan negara untuk menopang kewajibannya atas utang itu. Ketimpangan tersebut dapat dilihat dari tingkat kenaikan pendapatan negara yang jauh lebih kecil dari tingkat kenaikan utang negara.

Situasi APBN yang lebih besar pasak daripada tiang ini sebenarnya masih dapat dipahami mengingat negara-negara lain juga mengalami anggaran defisit. Yang menjadi persoalan adalah pasak (belanja) terus membesar sementara tiangnya (pendapatan negara) relatif mengecil dibandingkan pasaknya sehingga dikhawatirkan sewaktu-waktu ambruk atau sekurang-kurangnya goyah.

Upaya Sri Mulyani membesarkan tiang APBN (pendapatan negara) nampaknya mengalami kesulitan mengingat ekonomi yang sedang lesu. Dilain pihak “terobosan” paket-paket  kebijakan ekonomi yang sudah mencapai 16 paket belum terasa dampaknya terhadap perbaikan pertumbuhan ekonomi. 'The packages are going nowhere', alias masih “nyampah”. Sementara itu terobosan-terobosan yang langsung untuk menaikkan pendapatan negara belum tampak.

Sedangkan untuk mengecilkan pasak (belanja) APBN juga tidak mudah mengingat para pengguna (penikmat?) anggaran tidak rela menekan kenikmatan anggaran yang sudah biasa dinikmatinya.

Menghadapi benturan-benturan tersebut tampaknya Menkeu sebagai penjaga keuangan negara mengambil jalan pintas yaitu menambal APBN dengan utang baru tanpa (maaf) sungguh-sungguh memikirkan konsekuensinya kedepan. Pemerintah cq Menkeu selalu melihat tersedianya 'barrowing capacity' mengingat rasio utang yang masih dibawah 60% PDB. Tampaknya ada kecenderungan Indonesia akan terjebak pada krisis utang bila pemerintah khususnya Menkeu tetap menjalankan 'business as usual'.

'Borrowing capacity' yang ada itu sebenarnya karena asas legalitas (UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara) yang membolehkan utang negara sepanjang tidak melampaui 60% PDB dan defisit APBN tidak melampau 3% PDB. Dan nampaknya asas legaslitas inilah yang sedang  dieksploitasi habis-habisan oleh Pemerintah sekarang ini yang konsekuensinya akan ditanggung oleh pemerintah masa yang akan datang yang berpotensi menderita krisis utang seperti yang terjadi di Yunani. Sekali lagi alasan-alasan itulah yang selalu menjadi pertimbangan lain para pendahulu Sri Mulyani untuk menghindari bermain di pasar bebas utang, yaitu pemerintah yang belum siap.

Sebenarnya jika saja utang SBN tersebut berjangka lebih panjang dan berbunga kompetitif serta seluruhnya digunakan untuk projek pembangunan baru yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan jumlahnya selalu terukur dalam rasionya terhadap pendapatan negara, tidak akan mengkhawatirkan berpotensi menjelma menjadi debt trap seperti bayang-bayang sekarang ini. Sayangnya Sri Mulyani yang begitu progresif dalam terobosan-terobosan baru penarikan utang negara ala SBN justru konservatif dan miskin dalam terobosan untuk meningkatkan pendapatan negara maupun dalam memacu pertumbuhan ekonomi.

 

Jakarta, 5 Oktober 2017

*DR Fuad Bawazier MA. mantan menteri keuangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement