REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hadar Nafis Gumay menilai, ketentuan Pasal 222 UU Pemilu dapat dikatakan inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945.
"Kami berpandangan bahwa pengaturan seperti ini adalah pengaturan yang bertentangan dengan konstitusi," ujar Hadar di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (3/10).
Adapun Pasal 222 UU Pemilu mengatakan bahwa yang dapat mengusulkan pencalonan atau calon presiden dan wakil presiden, itu adalah partai politik peserta pemilu, baik sendiri maupun bersama-sama, sekurang-kurangnya memenuhi 20 persen kursi atau 25 persen suara dari pemilu sebelumnya
Hadar Nafis Gumay bersama dengan dua lembaga sosial masyarakat (LSM), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif (Kode Inisiatif) mengajukan permohonan uji materi Pasal 222 UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Hadar bersama dengan dua LSM tersebut berpendapat bahwa Pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan konstitusi, terutama terhadap Pasal 6A ayat (2), juga terhadap Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28D ayat (3) dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
"Dalam UUD 1945 sudah jelas diatur bahwa yang berhak mencalonkan adalah baik secara sendiri-sendiri atau bersama partai politik peserta pemilu dan diajukan sebelum pemilu," kata Hadar.
Namun kemudian pengaturan dalam Pasal 222 UU Pemilu dinilai Hadar justru menimbulkan batasan tambahan yang tidak memungkinkan bagi partai yang tidak atau belum ikut pemilu sebelumnya karena tidak memiliki kursi ataupun suara.
Pengaturan ini kemudian dikatakan Hadar juga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa asas penting dalam pemilu yang demokratis adalah langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil yang dilaksanakan lima tahun sekali.
"Adil ini adalah asas yang penting, jadi kalau tidak dipenuhi asas keadilan ini maka pemilunya itu tidak berlangsung seperti yang dimaksudkan dalam konstitusi kita," ujarnya.
Penerapan ambang batas 20 persen kursi atau 25 persen suara menurut Hadar sangat tidak adil terhadap partai-partai yang baru menjadi peserta di dalam Pemilu Tahun 2019. Sementara itu menurut Hadar, konstitusi Indonesia menjamin setiap warga negara untuk berhak memperoleh kesempatan yang sama di dalam pemerintahan.
"Para pasangan calon presiden yang kemudian berangkat dari parpol yang mengalami ketidakadilan tadi, tentu tidak mendapat kesempatan yang sama untuk bisa ikut dalam pemilu mendatang," jelasnya.