REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Agung (MA) melalui Kepala Biro Hukum dan Humas MA Abdullah, menegaskan, bahwa putusan praperadilan kasus Setya Novanto merupakan tanggung jawab mutlak hakim pemutus perkara tersebut. "Baik Ketua Pengadilan Tingkat Banding maupun Pimpinan Mahkamah Agung sama sekali tidak boleh intervensi," ujar Abdullah melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa (3/10).
Hal itu disampaikan oleh Abdullah menanggapi kontroversi putusan praperadilan yang diajukan Setya Novanto atas penetapan dirinya sebagai tersangka kasus dugaan korupsi KTP-elektronik oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Abdullah kemudian kembali menegaskan bagaimanapun putusan hakim atau majelis hakim menjadi tanggung jawab mutlak yang bersangkutan dan tidak ada hubungan dengan ketua pengadilan yang bersangkutan atau ketua pengadilan tingkat banding maupun Pimpinan MA.
"Mahkamah Agung menghormati apa yang telah diputuskan oleh Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas praperadilan Setya Novanto," kata Abdullah. Lebih lanjut, Abdullah mengatakan, bahwa ketua pengadilan telah melakukan pembinaan dan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan atau pelanggaran etika hakim.
Kendati demikian, dalam porsi pengawasan MA tidak bisa masuk ke dalam substansi perkara, karena setiap Hakim memiliki independensi yang harus dihormati termasuk oleh MA sendiri. "Namun jika memang terindikasi ada pelanggaran etika , maka Hakim yang bersangkutan akan diperiksa terkait dengan indikasi pelanggarannya," tegas Abdullah.
Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Cepi Iskandar pada Jumat (29/9) mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto sehingga menyatakan bahwa penetapan Ketua DPR itu sebagai tersangka tidak sesuai prosedur. Hakim Cepi berkesimpulan bahwa penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK tidak didasarkan pada prosedur dan tata cara UU No 30 Tahun 2002 tentang KPK, KUHAP, dan SOP KPK. Namun, KPK mempertimbangkan untuk mengeluarkan lagi surat perintah penyidikan (sprindik) untuk Setya Novanto.