Senin 02 Oct 2017 23:15 WIB

Guru Besar: Ketentuan Pidana di Perppu Ormas Perlu Dikritisi

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) bersama Hakim Anggota MK lainnya memimpin jalannya sidang lanjutan Perppu Ormas di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (2/10).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat (tengah) bersama Hakim Anggota MK lainnya memimpin jalannya sidang lanjutan Perppu Ormas di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,Semarang, Jateng Profesor Suteki, menilai ketentuan pidana dalam Perppu Ormas perlu dikritisi lebih lanjut.

"Dalam Pasal 82A ayat (2) Perppu Ormas ditentukan sanksi pidana penjara seumur hidup atau sanksi pidana minimum berupa pidana penjara minimal lima tahun dan maksimal dua puluh tahun, ini perlu dikritisi," kata Suteki di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Senin (2/10).

Suteki mengatakan hal itu ketika memberikan keterangan selaku ahli yang dihadirkan oleh Pihak Pemohon dalam sidang pengujian formil dan materiil Perppu Ormas. Suteki kemudian mempertanyakan ancaman hukuman pidana dalam Perppu Ormas, yang menurut dia tidak sesuai dengan maksud Pasal 28 E UUD 1945 tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, menyatakan pendapat secara lisan maupun tertulis.

"Apakah kemudian kebebasan berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat bisa ditempatkan sebagai hak asasi manusia," kata Suteki.

Lebih lanjut Suteki menilai rentang waktu pidana penjara dalam Perppu Ormas, sama dengan kejahatan dalam menjual, membeli, dan mengrdarkan narkotika golongan I. "Sanksi pidananya juga sama dengan kejahatan pembunuhan berencana dalam Pasal 340 KUHP, namun tanpa ketentuan sanksi pidana mati yang diancamkan," lanjut Suteki.

Menurut Suteki, ancaman pidana dalam Perppu Ormas ini terlalu kejam bila disamakan dengan dua kejahatan yang lain tersebut. "Kejahatan dan ancaman sanksi pidana dalam Perppu Ormas ini serasa kejahatan dan ancaman tindak pidana subversi yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 1963 yang kini sudah tidak berlaku lagi," pungkas Suteki.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement