REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Ismail Yusanto menanggapi adanya wacana dalam revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang menyatakan eks anggota HTI yang dilarang mencalonkan diri dalam pemilihan presiden, legislatif, dan kepala daerah. Menurutnya, itu adalah upaya menghilangkan hak politik seseorang.
Ia pun menyinggung partai-partai yang kadernya terbukti melakukan korupsi dan merugikan negara. Namun belum ada aturan atau sanksi yang berat yang ditujukan kepada partai, tak seperti wacana pelarangan mengikuti pemilu terhadap mantan anggota HTI.
"Jelas sekali ada partai yang banyak kadernya terlibat korupsi malah dibiarkan saja. Mestinya partai semacam inilah yang harus dicabut hak politiknya," ujar Ismail saat dihubungi, Kamis (28/1).
Adapun HTI, sebut Ismail, tak pernah terlibat dalam aksi kriminalisme, korupsi, dan separatisme. Apalagi, HTI hanya dibubarkan lewat pencabutan status badan hukum berdasarkan Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor AHU-30.AH.01.08 tahun 2017 tentang pencabutan Keputusan Menteri Hukum dan HAM nomor AHU-0028.60.10.2014 tentang pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan HTI.
"Menurut UU Ormas yang sudah diperppukan (Perppu 2 Tahun 2017), ormas yang dicabut Badan Hukum Perkumpulannya (BHP) dinyatakan bubar. Tapi tidak lantas berarti menjadi ormas terlarang," ujar Ismail.
HTI tercatat di Kemenkumham sebagai BHP dengan nomor registrasi AHU-00282.60.10.2014 pada 2 Juli 2014. Adapun HTI pada saat mengajukan permohonan BHP melakukan secara elektronik melalui website ahu.go.id-red.
Dengan adanya pencabutan SK Badan Hukum HTI, maka ormas tersebut dinyatakan bubar sesuai dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 Pasal 80A. Mengacu hal tersebutlah, seharusnya hak politik mantan anggota HTI tak dihilangkan dalam RUU Pemilu.
"Draf RUU Pemilu itu jelas telah melampaui batas, bahkan boleh disebut melanggar ketentuan terkait hak politik warga negara," ujar Ismail.
Dalam draf RUU Pemilu, aturan mengenai larangan mantan anggota HTI ikut Pilpres, Pileg, dan Pilkada tertuang dalam Buku Ketiga Penyelenggaraan Pemilu, BAB I Peserta Pemilu Bagian Kesatu Persyaratan Pencalonan. Pasal 182 ayat 2 (ii) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G30S/PKI.
Lalu dalam Pasal 182 ayat 2 (jj) menyebutkan bahwa calon Presiden, Wakil Presiden, Anggota DPR, Anggota DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Anggota DPRD Provinsi, Bupati dan Wakil Bupati/ Wali Kota dan Wakil Wali Kota serta Anggota DPRD Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan bukan bekas anggota Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Anggota Komisi II DPR Zulfikar Arse Sadikin menjelaskan, HTI tidak sesuai konsesus bangsa, yakni Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. Sehingga, mantan atau anggotanya dilarang untuk mencalonkan diri dalam pemilihan legialatif, kepala daerah, dan presiden yang tertera dalam draf RUU Pemilu.
"Pengurus dan anggotanya bertolak belakang dengan empat konsensus dasar bangsa Indonesia. HTI juga sudah dinyatakan pemerintah sebagai organisasi terlarang,” ujar Zulfikar saat dikonfirmasi, Rabu (27/1).
Zulfikar menjelaskan, untuk menjadi pejabat publik seperti legislator atau kepala daerah harus memenuhi syarat yang ada. Salah satunya adalah berkomitmen pada Pancasila, UUD NRI 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Sedangkan HTI, diketahui sebagai organisasi yang dinilai ingin mengganti ideologi Indonesia. Hal tersebut juga berlaku dengan organisasi-organisasi yang bertentangan dengan Pancasila.
"Dengan pandangan dan sikap seperti itu, lalu mereka (mantan anggota HTI) tetap diperbolehkan menjadi pejabat publik? Tentu tidak kan,” ujar Zulfikar.