Ahad 01 Oct 2017 16:44 WIB

PN Jaksel Diminta Introspeksi Putusan Praperadilan Setnov

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Bayu Hermawan
Praperadilan Setya Novanto (ilustrasi)
Foto: Antara/Reno Esnir
Praperadilan Setya Novanto (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Universitas Indonesia, Gandjar L Bonaprapta, mengatakan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, harus introspeksi atas putusan dikabulkannya permohonan praperadilan Setya Novanto, Jumat (29/9) lalu. Dia menilai, putusan ini merupakan dampak dari putusan-putusan praperadilan yang diajukan sebelumnya.

"Jika dibilang nanti ada dampak dari hasil putusan praperadilan Novanto, saya katakan tidak (tidak ada dampak). Sebab, putusan ini adalah dampak putusan-putusan sebelumnya, seperti putusan praperadilan Budi Gunawan, putusan praperadilan Hadi Purnomo dan putusan praperadilan Ilham Arief Sirajuddin. Jadi PN Jaksel harus introspeksi," jelasnya kepada Republika.co.id, Ahad (1/10).

Dampak tersebut, kata dia, berkaitan dengan diperluasnya ranah pra peradilan. Gandjar berpendapat, pra peradilan sebenarnya hanya menguji sah atau tidaknya tindakan hukum secara formil. Tujuannya, supaya penegak hukum tidak melakukan penangkapan sembarangan.

"Semestinya pra peradilan itu untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan dan penuntutan. Jika memang ingin diperluas, maka hukum acaranya saja yang diubah, bukan mengubah undang-undang sehingga praperadilan diperluas," lanjutnya.

Karena itu, Gandjar juga mengkritisi PN Jakarta Selatan yang dinilai tidak tepat dalam menangani praperadilan Novanto. "Mengapa pengadilan menguji alat bukti sampai terlalu jauh?," ujarnya.

Pada Jumat lalu, Hakim Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto. Hakim menjelaskan, penetapan Novanto oleh KPK sudah dilakukan pada saat awal penyidikan.

Padahal, penetapan ini semestinya dilakukan pada akhir tahap penyidikan perkara. Sementara itu, terkait alat bukti juga dipersoalakan oleh hakim. Hakim Cepi berpendapat, alat bukti yang diajukan oleh KPK berasal dari penyidikan tersangka KTP-el sebelumnya, yakni Irman dan Sugiharto. Menurut Hakim Cepi, alat bukti yang digunakan dalam perkara sebelumnya itu tidak bisa digunakan untuk menangani perkara selanjutnya.

Sebelumnya, KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka KTP-el pada 17 Juli lalu. Ketua Umum Golkar itu selanjutnya mengajukan praperadilan pada 4 September.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement