Oleh Sapto Andika Candra
Wartawan Republika
"Tanah Minang pernah terguncang di senja gulita oleh bencana yang tak terduga. Kuingat jerit dan tangis membelah sudut-sudut kota dalam kelam dan duka."
Penggalan puisi berjudul 'Dalam Duka, Kami Bangkit' karangan mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono tersebut kembali dibacakan di Tugu Gempa Padang pada Sabtu (30/9), atau tepat delapan tahun setelah gempa berkekuatan M 7,6 Skala Richter mengguncang kota tepi laut tersebut. Pemerintah Kota Padang mengadakan acara peringatan gempa untuk merawat kewaspadaan dan kesiapsiagaan bencana masyarakatnya.
"Masih segar dalam ingatan kita peristiwa 8 tahun lalu. Bagaimana mencekamnya Kota Padang pada waktu itu. Lampu-lampu, listrik, mati, jaringan tak tersambung dan terputus. Di sana-sini bangunan luluh lantak karena gempa tahun 2009," kenang Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah di hadapan keluarga korban dan masyarakat yang mengikuti upacara peringatan gempa, Sabtu (30/9).
Masyarakat Kota Padang dan Sumatra Barat pada umumnya memang sempat berduka. Namun, delapan tahun setelah bencana yang menewaskan ratusan warga Kota Padang ini, optimisme kembali muncul. Ekonomi, misalnya, kini kembali menggeliat dengan segala pembangunan yang ada.
Mahyeldi, dalam sambutan peringatan delapan tahun gempa Padang, menegaskan fokus pemerintah dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatra Barat ke depan adalah sistem pencegahan atau mitigasi bencana. Jika dulu pemerintah bisa dibilang baru bergerak ketika ada bencana terjadi maka kini giliran upaya preventif yang mengambil alih kebanyakan program kerja kesiapsiagaan bencana yang dijalankan pemerintah.
Mahyeldi melanjutkan salah satu bentuk pencehgahan yang diupayakan pemerintah, yakni memastikan seluruh bangunan yang didirikan setelah tahun 2009 memenuhi kualifikasi tahan gempa. Kebijakan ini tertuang dalam sejumlah perda tentang pendirian bangunan tahan gempa yang dimiliki hampir seluruh kabupaten/kota di Sumatra Barat.
"Dalam membangun sebuah gedung, baik penggunaannya untuk publik maupun pribadi, agar memperhatikan IMB dan memiliki SLF (Sertifikat Laik Fungsi), supaya bangunan tersebut tahan dan ramah gempa. Terutama bangunan publik," katanya.
Penegasan tentang bangunan tahan gempa juga beranjak dari kenyataan bahwa banyaknya korban gempa Padang pada 30 September 2009 lalu yang terjebak di dalam banngunan yang roboh. Belajar dari pengalaman yang lalu, ujar Mahyeldi, banyaknya korban jiwa juga ditemukan di hotel dan bimbingan belajar yang tidak memenuhi aspek teknis keamanan bangunan.
"Anak-anak kita yang les sore itu menjadi korban. Karena susah keluar bangunan karena sempitnya gang-gang di bangunan bimbel itu. Bangunan yang mewah di luar, ternyata keropos di dalam. Kita harus bertekad bagaimana korban bencana bisa kita tekan," kata Mahyeldi.
Selain upaya mitigasi dari segi struktur bangunan, Pemkot Padang juga menyiapkan 'Tsunami Save Zone' yakni berupa rambu petunjuk bagi warga untuk menyelamatkan diri dari tsunami. Upaya kampanye kesiapsiagaan juga digaungkan dari instansi ke instansi dan dari sekolah ke sekolah. Harapannya, warga kota bisa lebih 'akrab' dengan segala risiko bencana terutama gempa bumi dan tsunami.
“Kami dorong BPBD sinergi dengan Jepang, Selandia Baru, dan Cina. Kami belajar dari mereka," katanya.
Wakil Gubernur Sumatra Barat Nasrul Abit juga mengingatkan kepada seluruh kabupaten yang berbatasan langsung dengan Samudra Hindia untuk menyiapkan infrastruktur kebencanaan, termasuk shelter pengungsian. Pembangunan shelter akan dilakukan di beberapa titik di ketinggian sebagai titik kumpul awal masyarakat dari bencana tsunami.
"Saya minta 6 kabupaten di tepi pantai untuk mereka siapkan infrastruktur terutama tempat evakuasi tsunami dan shelter. Harapan kita manusia harus diselamatkan dulu," ujarnya.
Siapa sangka, tiga hari menjelang pernikahannya, Yogi Fitra (37 tahun) harus menghadapi sebuah bencana yang menewaskan ribuan orang di Sumatra Barat. Yogi, yang ketika kejadian berusia 29 tahun, sudah menyebar undangan dan merancang perayaan terpaksa menyederahankan pernikahannya.
"Tenda pernikahan terpaksa dibongkar. Pernikahan terpaksa kami buat sederhana. Tak ada pesta, padahal undangan sudah disebar," katanya.
Yogi adalah pewarta foto untuk Kantor Berita Antara, sebua biro berita pelat merah milik negara. Hari-hari menjelang pernikahan seharusnya dihabiskan untuk euforia persiapan pesta, namun hal itu tak terjadi kepada Yogi. Ia harus turun ke lapangan tepat setelah gempa melanda dan berburu gambar-gambar yang mewakili dahsyatnya bencana saat itu.
"Waktu itu saya memotret untuk Associated Press dan Antara Sumbar. Foto saya satu-satunya yang dikutip Majalah Time tentang gempa," katanya.
Bagi Yogi, gempa Padang tahun 2009 menyisakan duka mendalam lantaran banyak kerabat yang menjadi korban. Namun, Yogi menilai bahwa ada pelajaran dari setiap cobaan Ilahi. Masyarakat Sumbar, menurutnya, harus mulai akrab dengan risiko kebencanaan yang dimiliki.
Peringatan delapan tahun pascagempa Padang yang mengakibatkan sekitar seribu orang tewas di Tugu Gempa Padang pada Sabtu (30/9). (Sumber: Republika/Sapto Andika Candra)