Rabu 27 Sep 2017 20:27 WIB

Cerita Mega Soal Ayahnya yang Disingkirkan Usai G 30 S PKI

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Teguh Firmansyah
Megawati Soekarnoputri (tengah) menerima piagam Doktor yang diberikan Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri (kanan) saat penganugerahan gelar Doktor Honoriis Causa Bidang Politik Pendidikan, di auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat, Rabu (27/9).
Foto: Antara/Muhammad Arif Pribadi
Megawati Soekarnoputri (tengah) menerima piagam Doktor yang diberikan Rektor Universitas Negeri Padang Ganefri (kanan) saat penganugerahan gelar Doktor Honoriis Causa Bidang Politik Pendidikan, di auditorium Universitas Negeri Padang (UNP), Sumatera Barat, Rabu (27/9).

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Presiden ke-5 Republik Indonesia, Megawati Seokarnoputri, menerima gelar Doktor Honoris Causa atau Doktor Kehormatan bidang politik pendidikan dari Universitas Negeri Padang (UNP), Rabu (27/9).

Total sudah dua kali putri Bung Karno tersebut dianugerahi Doktor Kehormatan dari perguruan tinggi dalam negeri. Tahun 2016 lalu, gelar serupa juga diterima Mega dari Universitas Padjajaran, Bandung.

Pemberian gelar Doktor Kehormatan oleh UNP dilatari peran Mega dalam menerbitkan Undang-Undang (UU) nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Ia dianggap berjasa dalam membawa perubahan atmosfer pendidikan dari Orde Baru ke era Reformasi. Salah satu poin penting dalam UU Sisdiknas adalah adanya mandat bagi pemerintah pusat untuk menyisihkan 20 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan, serta porsi yang sama juga berlaku untuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) oleh pemerintah daerah.

Dalam orasi ilmiahnya, selain memuji UNP, Mega juga menyinggung soal G 30 S PKI. Mega curhat tentang Presiden pertama RI Bung Karno dalam keterkaitannya dengan peristiwa 1965.  Mega berharap, masyarakat kembali mengenal sosok Bung Karno tanpa dibatasi "tembok" peristiwa 1965.

Tahun itu memang terbilang kelam, Presiden Soekarno bahkan dikabarkan terlibat dalam Gerakan 30 September. Ia justru meminta Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kembali memberi pendidikan sejarah mengenai periode ini kepada murid sekolah.

"Apakah kita ini tidak ingin tahu ya dengan yang namanya Bung Karno hanya karena pada tahun 1965 ada sebuah peristiwa, yang saya bilang, itu yang harus dipelajari oleh rakyat Indonesia terutama generasi mudanya," ujar Mega.

Mega merasa, pasca-1965 terjadi sebuah gerakan untuk menyisihkan Bung Karno. Baginya hal tersebut tidak adil untuk ditimpakan kepada seorang Bapak Proklamator.

"Jangan hanya ingin berkuasa, namun karena tidak tahu bagaimana mengambil kekuasaan, justru mereka halalkan segala cara. Apakah itu adat Indonesia?" kata Mega.

Tak hanya menyinggung soal peristiwa 1965, Mega juga sempat menyampaikan keprihatinannya terhadap minimnya anggaran riset untuk perguruan tinggi. Menurut pengalamannya sebagai anggota parlemen hingga menjabat sebagai Presiden RI, bahkan sampai saat ini, anggaran riset tak juga tembus 1 persen dari keseluruhan APBN. "Selalu nol koma. Lah terus kita ini katanya punya LIPI, punya Badan Litbang," katanya.

Mega pun memuji UNP yang telah membuka pandangan baru dalam menjembatani bidang pendidikan dan politik. Mega juga menyampaikan pandangannya dalam menerbitkan UU Sisdiknas pada 2003 lalu. Ia beranggapan, UU tersebut diwujudkan sebagai bentuk upaya untuk menyetarakan peluang pendidikan antara kota dan daerah, serta antara sekolah negeri dan swasta.

"Semua sekolah harus setara. Itu kenapa saya minta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, buku di sekolah juga harus sama. Peluang pendidikan di Indonesia harus sama," ujar Mega saat menyampaikan orasi ilmiahnya, Rabu (27/9).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement