Rabu 27 Sep 2017 18:54 WIB

Cerita Bule-Bule yang Bantu Pengungsi Erupsi Gunung Agung

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Andri Saubani
Dua wisatawan berfoto dengan latar belakang Gunung Agung, di Desa Batu Niti yang berjarak sekitar 12 kilometer dari gunung berstatus awas itu, Karangasem, Bali, Senin (25/9).
Foto: Antara/Nyoman Budhiana
Dua wisatawan berfoto dengan latar belakang Gunung Agung, di Desa Batu Niti yang berjarak sekitar 12 kilometer dari gunung berstatus awas itu, Karangasem, Bali, Senin (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, KARANGASEM -- Pulau Bali menjadi rumah kedua bagi banyak wisatawan asing, khususnya yang berasal dari Australia. Keunikan budaya, jarak tempuh dekat, berkisar tiga hingga tujuh jam perjalanan melalui udara menjadikan Negeri Kangguru tersebut langganan negara penyuplai wisatawan terbanyak ke Pulau Dewata.

Ramah tamah dan sikap peduli orang-orang Bali yang mereka tunjukkan pada siapapun, bahkan orang asing menjadikan warga Australia betah berlama-lama di sini. Simon Cottrill dan Sarah Cottrill adalah pasangan suami istri yang mengagumi Bali sejak keduanya menikah dan berbulan madu di Pulau Dewata hampir satu dekade lalu.

Bule asal Melbourne ini berkunjung ke Bali setidaknya dua kali setahun. September ini pasangan Cottrill dan dua buah hati mereka sedianya berlibur sambil bakti sosial (baksos), berupa penyaluran bantuan kesehatan untuk masyarakat di kantong-kantong kemiskinan di Bali melalui yayasan mereka, Handle With Care International (HWCI).

"Awalnya kami ingin menyelenggarakan baksos rutin. Begitu kami ke sini, status Gunung Agung terus dinaikkan dan berpotensi erupsi. Kami akhirnya tinggal lebih lama untuk membantu pengungsi," katanya dijumpai Republika di salah satu pos pengungsian di Karangasem, Selasa (26/9).

Yayasan HWCI sejak 2010 fokus mengurangi dampak kemiskinan dan membantu krisis di negara-negara berkembang. HWCI di Bali bermitra dengan Lembaga Amil Zakat (LAZ) Dompet Sosial Madani (DSM). Yayasan ini juga melakukan kegiatan serupa di Nepal. Misinya adalah mengajak masyarakat Australia bahu membahu memberikan bantuan dan dukungan dalam bentuk apapun, uang atau barang. Tujuan akhirnya adalah menciptakan perubahan positif bagi semua orang di berbagai negara.

Simon dan istrinya juga mengajak sahabat-sahabat mereka untuk menjadi relawan di sejumlah titik pengungsian Gunung Agung. Mereka contohnya, menyumbang untuk pengungsi di dua lokasi di Desa Bukit, Kecamatan Karangasem mencapai Rp 15 juta.

Simon dan Sarah juga menggalang dana untuk menyediakan bantuan, berupa tenda, selimut, toilet portabel, dapur umum, dan klinik medis secara bertahap untuk 578 pengungsi. Keduanya berharap seluruh pengungsi selamat, termasuk hewan-hewan ternak, kebun, sawah, dan harta benda mereka. "Jika pada akhirnya Gunung Agung erupsi, kami siap membantu semampu kami," kata Simon.

Hal berbeda dilakukan Molly Fitzpatrick, relawan asing yang bergabung bersama DSM Bali di Banjar Tiing Jangkrik dan Bukit Tabuan. Mahasiswa Antropologi Kesehatan di Universitas Zurich, Swiss ini awalnya sedang melakukan penelitian di Bali sejak dua bulan lalu.

Molly memilih Bali sebagai lokasi riset disertasinya sebab sang ibu pernah mengabdi sebagai bidan di Bali dalam waktu cukup lama. Molly tinggal sementara di Bali hingga tugas akhirnya selesai, minimal Januari 2018. Ini berarti calon PhD ini mengikuti perkembangan aktivitas Gunung Agung dalam waktu cukup lama.

"Saya harap Gunung Agung tetap aman, tidak terjadi erupsi. Saya juga mendoakan seluruh pengungsi aman, sehat, dan tidak ada lagi yang masih bertahan di zona bahaya," katanya.

Mahasiswa yang menyelesaikan S1 dan S2 di Universitas Amsterdam ini salut dengan budaya gotong royong atau 'menyama braya' masyarakat Bali di pengungsian. Molly mengatakan pemandangan seperti ini sering dijumpainya di Indonesia, seperti saat ia berpelesir ke Bandung, Jawa Barat. "Bidan-bidan di desa-desa pengungsian misalnya. Mereka sangat sigap bekerja melayani warga yang membutuhkan layanan kesehatan," katanya.

Sean memikul sebotol galon air mineral yang beratnya hampir 20 kilogram (kg) menuju pos pengungsi di Danau Tempe, Sanur. Lebih dari seribu jiwa berdiam di sana. Tangan kirinya juga menenteng sebungkus plastik berisi masker dan obat-obatan standar untuk pengungsi.

Bule asal Australia ini sama sekali tak menunda rencana liburannya ke Bali, meski Gunung Agung sudah ditetapkan statusnya menjadi awas atau level empat sejak 22 September lalu. Dia menganggap sebagian besar wilayah Bali masih aman dan pemerintah setempat sudah siap mengantisipasi dampak erupsi Gunung Agung. "Hati-hati dan tetap tidur nyenyak malam ini," ujar Sean pada beberapa pengungsi yang disalaminya.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat jumlah pengungsi Gunung Agung melonjak hingga 75.673 jiwa per Selasa (26/9). Mereka tersebar di 377 titik di sembilan kabupaten kota di Bali dan diperkirakan masih terus bertambah. Radius berbahaya Gunung Agung adalah sembilan kilometer (km) dan tambahan 12 km di sektor utara-timur laut dan 12 km di sektor Tenggara-Selatan-Barat Daya. Zona tersebut harus dikosongkan.

Bali tetap menjadi tuan rumah sejumlah pertemuan internasional di tengah ketidakpastian kapan gunung suci umat Hindu Bali itu akan memuntahkan laharnya. Delegasi pun tak ketinggalan menyampaikan bela sungkawa sekaligus doa untuk keselamatan seluruh masyarakat di pengungsian. "Bali adalah kekayaan kewirausahaan Indonesia. Modal sosialnya besar. Kami yakin masyarakat Bali mampu mengatasi masalah yang sedang terjadi saat ini," kata Bayu Krisnamurthi, perwakilan Indonesia di bawah Yayasan Bina Swadaya yang mengisi acara Konferensi Kewirausahaan Sosial Asia 2017.

Sepekan ini, setidaknya tiga acara besar diadakan di Pulau Dewata. Pertama, Asia-Europe Transport Meeting (ASEM) - Transport Minister Meeting (TMM) di Hotel Westin, Nusa Dua, Kabupaten Badung yang dimulai Selasa (26/9). Acara ini dihadiri 251 delegasi dunia membahas transportasi dan logistik.

Pada hari yang sama juga digelar Kompetisi Hacker Nasional Cyber Jawara di Padma Resort Legian. Tiga hari ke depan, 27-29 September 2017, 2nd Social Enterprise Advocacy and Leveraging (SEAL) Conference digelar di Hotel Soverign, Jalan Raya Tuban, Kuta. Acara ini setidaknya dihadiri perwakilan delegasi dari 10 negara di dunia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement