Senin 25 Sep 2017 13:16 WIB

Kisah Saksi Hidup Dahsyatnya Letusan Gunung Agung pada 1963

Rep: Mutia Ramadhani/ Red: Andri Saubani
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) mendengarkan laporan Ketua Umum Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (kiri) saat pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/5).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Presiden Joko Widodo (tengah) bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan) mendengarkan laporan Ketua Umum Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Ida Penglingsir Agung Putra Sukahet (kiri) saat pertemuan di Istana Bogor, Jawa Barat, Selasa (23/5).

REPUBLIKA.CO.ID,  KLUNGKUNG -- Ketua Umum Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Indonesia, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet menjadi salah satu saksi hidup dahsyatnya letusan Gunung Agung, 18 Februari 1963-27 Januari 1964. Dirinya yang pada waktu kejadian masih berusia delapan tahun itu, masih ingat detail kejadian yang dialami keluarganya dan seluruh masyarakat Klungkung.

Klungkung dan Gunung Agung hanya berjarak 20 kilometer (km), sehingga masyarakat begitu dekat dengan bencana alam bersejarah tersebut. Rumah-rumah dan balai banjar di Klungkung banyak dipakai sebagai tempat penampungan pengungsi.

Sukahet bercerita menjelang letusan hebat Gunung Agung, masyarakat Hindu menyelenggarakan upacara terbesar, Eka Dasa Rudra pada 8 Maret 1963. Ribuan umat Hindu dari seluruh Bali, bahkan seluruh Indonesia datang ke Pura Besakih yang berada di kaki Gunung Agung. Sukahet bersama orang tua, kakak, dan saudara-saudaranya juga ikut 'ngayah' ke pura yang merupakan ibu dari segala pura tersebut. "Selama proses upacara, Gunung Agung tengah meletus. Hujan abu, pasir, dan kerikil berjatuhan di sekitar Pura Besakih," katanya kepada awak media, Selasa (25/9).

Ahli geologi sudah memberitahukan bahwa letusan Gunung Agung saat itu mungkin merupakan yang terdahsyat dari seluruh letusan yang pernah terjadi. Gunung Agung sebelumnya beristirahat selama 120 tahun.

Hampir setiap hari seluruh masyarakat Klungkung dan Karangasem menyaksikan letusan Gunung Agung, dihujani abu, dan menyaksikan banjir lahar dingin di Tukad Unda. Masyarakat juga menyaksikan rumah-rumah, pura-pura tenggelam diurug batu dan pasir di Desa Tangkas dan Gunaksa. "Itu juga termasuk rumah dan pura keluarga besar kami, Pura Merajan Agung Sukahet di Jalan Yos Sudarso, Klungkung," katanya.

Bangunan-bangunan berjatuhan karena rata-rata tidak memakai rangka besi sebagai tulang, tidak dicampur beton, pasir, dan semen, melainkan hanya batu bata citakan, yaitu batu bata yang masih mentah, belum dibakar. Perekat bangunan hanya terbuat dari campuran kapur dan tumbukan batu bata. Semua bangunan pura memakai enceran tanah halus (nyanyad) sebagai perekat, termasuk bangunan Pura Besakih.

Upacara Eka Dasar Rudra, kata Sukahet, berlangsung sampai selesai di tengah letusan Gunung Agung. Informasi Gunung Agung akan meletus saat itu masih sangat minim, bahkan masyarakat nyaris tidak sadar gunung suci mereka akan meletus.

Sukahet bercerita tidak ada tahapan status waspada, siaga, dan awas saat itu. Belum ada televisi, bahkan radio pun hanya radio kecil. Kondisinya sangat berbeda dengan sekarang di mana informasi dan tahap kesiapsiagaan sudah disiarkan langsung setiap hari. Pemerintah sekarang pun sudah siap dan kian cepat mengantisipasi bencana.

David J Stuart Fox dalam bukunya 'Pura Besakih: Pura, Agama, dan Masyarakat Bali' (2010) menuliskan lebih kurang 10 ribu orang menghadiri upacara tersebut, termasuk gubernur, kepala pemerintahan daerah, dan tokoh-tokoh terkemuka Bali. Eka Dasa Rudra merupakan upacara agama terbesar umat Hindu Bali yang diselenggarakan di pura terbesar, Pura Besakih.

Sejumlah alasan yang disampaikan para ahli gunung berapi belum mampu meyakinkan masyarakat untuk mengosongkan Besakih. Setelah Eka Dasa Rudra dilaksanakan, beberapa hari setelahnya masih berdatangan lima ribu orang ke Pura Besakih di tengah hujan debu dan kerikil. Ritual di Besakih terus digelar hingga 15 Maret 1963, dua hari hari sebelum letusan besar pertama terjadi.

Pura Besakih sepanjang masa letusan hanya mengalami kerusakan kecil. Bahkan, saat letusan besar pertama terjadi, Pura Besakih seperti tak tersentuh, demikian juga pada letusan besar kedua, 16 Mei 1963. Warga yang berdoa di sana pun selamat. Pura ini rusak parah justru karena gempa tektonik berkekuatan enam skala richter yang mengguncang Bali pada 18 Mei 1963.

Kini, setelah tertidur 54 tahun kemudian, Gunung Agung kembali menunjukkan peningkatan aktivitas. Gunung ini sudah berstatus awas atau level empat. Masyarakat di kaki Gunung Agung memiliki kesadaran tinggi untuk mengevakuasi diri dan keluarganya secara mandiri.

Jumlah pengungsi Gunung Agung menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencapai 34.931 jiwa per Ahad (24/9) pukul 12.00 WITA. Mereka tersebar di 238 titik.

Kepala Pusat Data Informasi dan Hubungan Masyarakat BNPB, Sutopo Purwo Nugroho merinci data pengungsi. Sebanyak 328 jiwa tersebar di tiga titik Kabupaten Badung. Kedua, 2.883 jiwa tersebar di 23 titik di Bangli. Ketiga, 4.649 jiwa menyebar di 13 titik di Buleleng.

Keempat, 297 jiwa di lima titik Kota Denpasar. Kelima, 161 jiwa di 12 titik di Gianyar. Keenam, 15.129 jiwa di 81 titik di Karangasem. Terakhir, 11.484 jiwa berada di 101 titik di Klungkung.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement