Jumat 22 Sep 2017 13:02 WIB

KPK Jadwalkan Pemeriksaan Ketua Nonaktif PN Bengkulu

Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu nonaktif Dewi Suryana (kanan) dan PNS lingkungan Pemkot Bengkulu yang diduga sebagai penyuap Syuhadatul Islamy bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (19/9).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Bengkulu nonaktif Dewi Suryana (kanan) dan PNS lingkungan Pemkot Bengkulu yang diduga sebagai penyuap Syuhadatul Islamy bersiap menjalani pemeriksaan di Gedung KPK Jakarta, Selasa (19/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Komisi Pemberantasan Korupsi menjadwalkan pemeriksaan Ketua nonaktif Pengadilan Negeri Bengkulu Kaswanto terkait kasus dugaan suap terhadap hakim di Pengadilan Tipikor Bengkulu. "Kaswanto diperiksa sebagai saksi untuk Sur (Dewi Suryana)," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Jumat (22/9).

Kaswanto diperiksa terkait putusan perkara korupsi kegiatan rutin Tahun Anggaran 2013 di Dinas Pendapatan, Pengelolaan, Keuangan, dan Aset (DPPKA) Kota Bengkulu. Menurut Ketua Bidang Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto, MA langsung menonaktifkan Kaswanto sebagai Ketua PN Bengkulu pasca-Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap Dewi Suryana selaku hakim anggota di Pengadilan Tipikor Bengkulu dan Hendra Kurniawan sebagai Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu pada 6 dan 7 September 2017 lalu.

"MA juga menonnaktifkan sementara ketua Pengadilan Negeri Bengkulu dan juga panitera pengganti atasannya, jadi atasan langsung harus ikut bertanggung jawab. MA sudah memerintahkan tim ketua dan panitera, apakah yang bersangkutan sudah memberikan pengawasan terhadap anak buahnya, apabila tidak, akan direhabilitasi, apabila tidak ada pengawasan yang memadai, penonaktifan itu akan diteruskan permanen," kata Sunarto pada 8 September 2017.

Dalam perkara ini, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada Rabu (6/9) dan Kamis (7/9) terhadap Hakim anggota di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bengkulu Dewi Suryana, Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Hendra Kurniawan, seorang PNS yang juga kerabat terdakwa Wilson Syuhadatul Islamy, pensiunan Panitera Pengganti Pengadilan Tipikor Bengkulu Dahniar, S selaku PNS dan DEN dari pihak swasta.

Dari tangan Dahniar, pada 6 September KPK menemukan kuitansi bertuliskan "panjer pembelian mobil" tertanggal 5 September 2017. Selanjutnya pada Kamis (7/9) pukul 00.00 WIB tim KPK mengamankan Hendra di rumahnya dan pada pukul 01.00 WIB tim KPK mengamankan Dewi di rumahnya hingga akhirna sekitar pukul 02.46 WIB tim penyelidik mendatangi kembali rumah Dewi dengan mengamankan uang sebesar Rp 40 juta yang dibungkus kertas koran di dalam kresek hitam.

Sisa uang Rp75 juta yang diduga merupakan bagian dari commitment fee sebesar Rp 125 juta ditemukan di rumah Dahniar. Diduga pemberian uang terkait dengan penanganan perkara dugaan tindak pidana korupsi kegiatan rutin Tahun Anggaran 2013 DPPKA Kota Bengkulu dengan terdakwa Wilson agar dijatuhi hukuman yang ringan oleh majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Bengkulu.

KPK terus mendalami uang Rp 75 juta yang ditemukan di salah satu saksi. Pendalaman terkait ditujukan untuk apa, dan siapa, termasuk apakah uang itu diperuntukkan untuk pembayaran kedua atau diperuntukkan pemberian kepada pihak.  Sementara mengenai kuitansi bertuliskan panjer mobil diduga untuk menyamarkan tujuan dari uang tersebut. 

"Diduga ada proses pemberi awal yang berlapis, sarana perbankan dengan cash," tambah Febri.

Tersangka penerima suap adalah Dewi Suryana dan Hendra Kurniawan dengan sangkaan Pasal 12 huruf c atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut mengenai hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman pidana penjara paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.

Pihak pemberi adalah Syuhadatul Islamy dengan sangkaan Pasal 6 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal itu menyebut orang yang memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili dengan ancaman penjara maksimal 15 tahun penjara dan denda Rp 750 juta.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement