REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah yakin KPK dapat menjawab semua argumentasi-argumentasi yang disebutkan dalam permohonan praperadilan yang diajukan Ketua DPR Setya Novanto. Pada Rabu (20/9), Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui Hakim Tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang perdana praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan permohonan dari pihak pemohon.
"Tim KPK datang seperti yang kami sampaikan, pasti akan kami hadapi praperadilan dan kami yakin bisa menjawab semua argumentasi tersebut," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Jakarta, Rabu (20/9) malam.
Menurut Febri, beberapa hal yang disampaikan tim kuasa Hukum Setya Novanto sebenarnya sudah sering diputuskan pada sidang praperadilan lainnya ataupun penegasan di putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Misalnya terkait dengan keabsahan penyidik KPK. KPK bisa mengangkat penyidik sendiri di luar kepolisian dan kejaksaan. Kedua terkait dengan kerugian keuangan negara," kata dia.
Febri menjelaskan bahwa sudah ada putusan MK yang menegaskan bahwa perhitungan kerugian keuangan negara tidak hanya dari satu institusi saja di mana KPK bisa bekerja sama dengan BPK. "Bahkan perhitungan itu juga bisa dilakukan dengan melibatkan ahli atau melibatkan auditor atau pihak lain yang tentu saja relevan dan juga penting," tuturnya.
Febri pun menyatakan bahwa KPK mengingatkan bahwa proses praperadilan ini hanya berada pada ranah formil saja. "Jadi, jangan sampai pada materi pokok perkara karena pokok perkara akan diuji pada proses persidangan tindak pidana korupsi," ucap Febri.
Sidang praperadilan Setya Novanto akan dilanjutkan pada Jumat (22/9) dengan agenda jawaban dari KPK. KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-el) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.
Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-el pada Kemendagri.