Rabu 20 Sep 2017 15:21 WIB

Pengacara Setnov Masalahkan Pengiriman SPDP dari KPK

Peserta aksi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto ketika melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Peserta aksi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto ketika melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ida Jaka Mulyana, anggota tim kuasa hukum Ketua DPR RI Setya Novanto menyebutkan penetapan tersangka terhadap kliennya terkait kasus proyek KTP elektronik (KTP-el) itu tidak sah. Ia juga mempermasalahkan pengiriman Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sehari setelah diumumkan KPK.

"Pada 17 Juli 2017, bahwa pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka melalui konferensi pers. Namun, pemohon baru menerima SPDP tanggal 18 Juli 2017 pukul 19.00 WIB," kata Ida saat membacakan permohonan praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (20/9).

Oleh karena itu, kata dia, penetapan Setya Novanto sebagai tersangka dilakukan sebelum KPK melalukan proses penyidikan. "Tanpa memeriksa saksi-saksi dan alat bukti sebagaimana pada Pasal 184 KUHAP, dengan kata lain tanpa proses penyidikan," ujar Jaka.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa KPK telah salah dan keliru karena penetapan tersangka terhadap Setya Novanto seharusnya dilakukan setelah proses penyidikan. "Namun dalam kasus ini, termohon salah dan keliru menetapkan tersangka terlebih dahulu sebelum penyidikan sehingga penetapan pemohon sebagai tersangka menyalahi ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi sehingga harus dinyatakan batal demi hukum," ucap Jaka.

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-el) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-el pada Kemendagri.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement