Selasa 19 Sep 2017 19:40 WIB

"Maraknya OTT Kepala Daerah karena Biaya Pilkada Tinggi"

Rep: Dian Erika N/ Red: Endro Yuwanto
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).
Foto: Republika/Prayogi
Penyidik KPK menunjukan barang bukti uang hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Kabupaten Batubara, Sumatera Utara saat konferensi pers di gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Jenderal Otonomi Daerah (Otda) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Sumarsono mengatakan, banyaknya kepala daerah yang terjaring operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) salah satunya disebabkan oleh biaya politik yang tinggi saat pilkada.

Selain itu, besaran gaji kepala daerah juga diduga memicu celah tindak pidana korupsi. Sumarsono mengatakan, budaya politik uang masih dipercaya sebagai pendulang perolehan suara dalam pilkada. Karena itu, calon kepala daerah harus menyiapkan dana yang tidak sedikit untuk mengikuti proses pilkada.

"Dari sisi rekruitmen calon untuk pilkada juga membutuhkan biaya yang tinggi. Kami menyarankan parpol memperbaiki sistem rekruitmen calon kepala daerah," ujar Sumarsono ketika dikonfirmasi Republika.co.id, Selasa (19/9).

Perbaikan sistem, kata Sumarsono, dinilai sangat diperlukan mengingat besarnya biaya politik adalah salah satu akar persoalan korupsi oleh kepala daerah. Perbaikan ini dapat dilakukan dengan sistem kaderisasi internal parpol.

Sumarsono menyebutkan, besaran sumbangan dana parpol sebanyak Rp 1.000 per suara sah dapat dialokasikan untuk pendidikan politik, kaderisasi internal, dan penguatan manajemen parpol. "Lewat cara ini, ke depannya parpol bisa memilih calon kepala daerah karena ketokohannya, komitmen serta integritas. Jangan pilih calon kepala daerah karena memiliki modal atau yang mampu menyediakan modal," ujarnya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Nurdin Abdullah. Berdasarkan tukar informasi dengan sesama kepala daerah, kata dia, banyak yang mengungkapkan jika butuh energi dan biaya yang tinggi untuk mencalonkan diri dalam pilkada.

Saat hal ini dihadapkan kepada mental kepala daerah yang mudah goyah, maka potensi melakukan korupsi sangat tinggi. "Akar masalah korupsi adalah biaya politik yang tinggi. Ketika terpilih, nanti ada peluang bagi calon untuk melakukan balas jasa, balas budi, dan mungkin balas dendam," ungkap Nurdin.

Apkasi menyesalkan banyaknya jumlah kepala daerah yang terjaring OTT KPK. Karena itu, dalam bursa pilkada yang akan datang Apkasi menyarankan parpol benar-benar mengusung kandidat calon kepala daerah yang berintegritas dan memiliki orientasi membangun daerahnya.

Selain faktor modal politik, Nurdin menyebut besaran gaji kepala daerah juga menjadi celah penyebab korupsi. Para kepala daerah, katanya, sering membicarakan tentang besaran gaji dan tunjangan yang dianggap belum seimbang dengan beratnya tanggung jawab sebagai kepala daerah.

Apkasi menyarankan ada evaluasi tentang besaran gaji untuk kepala daerah. Jika kemampuan pemerintah memadai, pihaknya meminta besaran gaji untuk dinaikkan.

"Harus diuji coba, jika besaran gaji pokok naik, apakah masih ada usaha pengalihan beban tanggung jawab kepala daerah dengan cara korupsi. Ini untuk mendukung sikap mental kepala daerah yang harus melayani, membangun, dan memajukan daerah tanpa pamrih," kata Nurdin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement