REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Kegiatan magang dinilai sebagai salah satu kesempatan mendapatkan tenaga kerja unggul. Namun disayangkan, masih sedikit perusahaan yang menyadari pentingnya hal tersebut.
Hal itu diungkapkan Direktur Edukadin Agustina Devi di Semarang, Jumat (15/9). "Anak-anak magang dilepas begitu saja. Diberi kerjaan yang enggak penting. Ya, sekadar magang aja," kata dia di sela Pelatihan Pelatih Tempat Kerja Internasional Bersertifikat Ada (Ausbildung Der Ausbilder) Jerman hasil kerja sama Edukadin dengan IHK Trier, semacam Kadin di Jerman.
Devi menjelaskan perlakuan perusahaan di Jerman terhadap kegiatan magang sangat berbeda karena sudah ada perundang-undangan yang mengatur secara terperinci yang menjadi tanggung jawab dari perusahaan. "Perusahaan bertanggung jawab mengatur program pemagangan, memberikan tempat dan waktu ujian bagi anak magang, dan tentunya harus memiliki pelatih atau pembimbing magang yang bersertifikasi," katanya.
Bahkan, kata dia, pembimbing magang harus memenuhi berbagai persyaratan, mulai bersertifikat hingga memiliki rekam jejak yang baik sebagai pelatih atau pembimbing kegiatan magang di perusahaan. "Makanya, kami ingin mengenalkan metode di Jerman kepada perusahaan-perusahaan di Jateng. Ya, tidak diaplikasikan semua aturannya secara persis, tetapi setidaknya bisa membuka wawasan mereka," katanya.
Menurut dia, perusahaan sebenarnya diuntungkan dengan kegiatan magang karena mereka nantinya bisa mendapatkan tenaga kerja unggul yang terukur ketimbang repot melakukan seleksi tenaga kerja dari awal. "Kalau sudah ada anak magang kan jelas terukur, mana yang nilainya baik bisa direkrut. Karena ada program dan evaluasi jelas, ketimbang mencari baru seperti membeli kucing dalam karung," katanya.
Meski masih sedikit, kata dia, beberapa kalangan perusahaan di Indonesia sudah menerapkan pola pemagangan yang terukur, khususnya perusahaan di bidang automotif dan pariwisata, khususnya perhotelan. "Banyak perusahaan automotif bekerja sama dengan SMK-SMK untuk kegiatan magang, kemudian direkrut. Hotel-hotel juga demikian, saat peak season mereka kekurangan orang sehingga membuka magang," katanya.
Sementara itu, Koordinator Program IHK Trier Andreas Gosche mengatakan selama ini antara industri dan sekolah di Indonesia belum bersinergi, berbeda dengan kondisi di Jerman yang sudah saling bersinergi. "Pembelajaran terjadi di dua tempat, yakni sekolah dan industri. Di sekolah sudah ada kurikulum dan guru, namun di industri belum ada. Ini sebenarnya kesempatan menciptakan guru di industri lewat magang," katanya.
Di satu sisi, kata dia, sekolah untung karena siswanya bisa magang dan belajar dengan alat yang memadai di industri, sementara industri untung karena mereka bisa menyeleksi calon tenaga kerja yang unggul. "Di Jerman, anak-anak magang juga dapat uang saku dari perusahaan yang diatur jelas sesuai bidang kerja sektor tertentu. Mestinya di Indonesia juga, setidaknya uang transport dan makan," ujarnya.