REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar mengatakan, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tidak menjelaskan secara detail soal apakah lembaga negara independen seperti KPK dapat menjadi objek hak angket DPR.
Zainal menjelaskan, adanya aturan tentang hak angket sekarang itu menggunakan logika konstitusi Republik Indonesia Serikat dan UU Dasar Sementara tahun 1950. Saat 1950 itu, sistem pemerintahan yang digunakan pada praktiknya adalah parlementer. Sehingga, dalam UUDS 1950 itu, terdapat aturan soal pelaksanaan hak angket.
"(UUDS 1950) Ini dipakai logikanya lalu tiba-tiba hadir di dalam UUD 1945 yang sekarang," kata Zainal usai menjadi ahli dalam sidang gugatan hak angket DPR di kantor MK, Jakarta Pusat, Rabu (13/9).
Karena itu, menurut Zainal, saat ini perlu ada kesepakatan apakah masih mau menggunakan sistem seperti dulu, yakni UUDS 1950, di mana sudah jelas bahwa objek hak angket adalah pemerintah. Atau, jika ingin supaya objek hak angket adalah lembaga selain pemerintah, maka UU MD3 harus menjelaskannya secara detail.
"Ini masalahnya tidak, UU MD3 itu enggak menjelaskan apa-apa secara detail soal itu, jadi bahaya kalau dibiarkan tafsiran orang per orang itu menjadi tafsiran untuk UU MD3 itu. Makanya penting untuk dibawa ke MK," kata Zainal.
Penafsiran tersebut, ungkap Zainal, harus hati-hati. Sebab, ia mengakui, Pasal 79 ayat (3) UU MD3 sangat mungkin ditafsirkan bahwa lembaga independen di luar pemerintah juga boleh dikenakan sebagai objek hak angket. Kalau demikian yang terjadi, artinya semua lembaga di luar pemerintah, termasuk Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), juga boleh dikenakan objek hak angket.
"Kalau lembaga di luar pemerintah itu boleh diangket, berarti semuanya boleh. Berarti MA dan MK itu boleh. Kan rusak negara hukum kalau MA dan MK bisa diangket. Kalau dikatakan bahwa MK dan MA tidak bisa, pertanyaan saya di mana aturan itu. Karena di UU MD3 itu enggak diatur," jelas Zainal.