REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Aradila Caesar memastikan tertangkapnya Hakim Tipikor Pengadilan Negeri Bengkulu dalam kasus suap terhadap putusan kasus tindak pidana korupsi perkara korupsi bukanlah hal yang terakhir bila pengawasan di internal penegak hukum tidak dilakukan secara menyeluruh.
"Ditangkapnya hakim karena korupsi yang pasti bukan yang terakhir. Jika tidak ada komitmen dari MA untuk melakukan pembenahan secara menyeluruh," ujarnya saat dihubungi, Jumat (8/9).
Menurut Arad sapaan akrab Aradila, MA terkesan membiarkan hal ini terus terulang. Seharusnya, sambung Arad, MA harus mengevalusi peta kerawanan korupsi. Dalam evaluasi tersebut pun harus melibatkan KY dan KPK untuk mendorong agenda pembenahan.
"Evaluasi ini semua daerah dan harus mencakup semua bisnis proses di pengadilan, sehingga agenda pembenahan bisa disusun berdasarkan evaluasi itu," ucapnya.
Hal senada juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia, Dadang Tri Sasongko. Menurutnya, terus terulangnya kasus korupsi bukan hanya sekedar krisis budaya korupsi, tetapi juga sistem pengawasan internal yang lemah di badan peradilan.
Selain itu, pengaruh dari pihak-pihak lain yang berurusan dengan pengadilan juga menjadi salah satu penyebab suburnya tindak pidana korupsi. "Dalam berbagai kasus sebelumnya, ada juga advokat yang kena OTT menyuap hakim dan panitera pengadilan. Jadi, putusan pengadilan sudah dijadikan komoditas oleh mereka," kata Dadang.
Ia pun menyayangkan operasi tangkap tangan di Bengkulu yang menjadikan Dewi Suryana Hakim Tipikor PN Bengkulu menjadi tersangka kasus tindak pidana korupsi. "Kasus OTT kali ini sangat serius karena yang ditangkap bukan sembarang hakim, tapi hakim Tipikor yang seharusnya memiliki tuntutan moral yang jauh lebih tinggi dari hakim lainnya dalam hal antikorupsi," ujar Dadang.
Sehingga, sambung Dadang, dalam hal ini MA harus harus membuka diri terhadap bantuan kerja sama dari KPK dan KY untuk memperkuat pengawasan di internal. "Mahkamah Agung harus secara terbuka dan masif menyatakan peran melawan praktik suap," tegasnya.
Sementara Ketua KPK Agus Rahardjo menyadari KPK harus kembali melakukan evalusi terkait OTT yang kembali terjadi di Bengkulu. "KPK juga harus mengevaluasi karena Bengkulu bagaimana pun jadi bimbingan KPK kan hari ini. Jadi kok ini masih terjadi di banyak tempat," ucapnya.
Namun, sambung Agus, bimbingan dalam upaya pencegahan korupsi di Bengkulu saat ini masih di sekitar wilayah pemerintah daerah (Pemda) dan belum menyentuh ke pengadilannya. "Kalau pengadilannya, kita melakukan semacam perbaikan, yang di depan teman-teman MA kemudian kita di belakang. Itu nanti kita akan bicarakan," ujar Agus.
Menanggapi hal tersebut Ketua Kamar Pengawasan Mahkamah Agung Sunarto, MA sudah memiliki instrumen dalam hal pengawasan yakni aturan nomor 09 tahun 2016 yang memberi mekanisme whistle blower bagi para pegawai di peradilan untuk melaporkan rekannya yang terindikasi melakukan pelanggaran. "Saya percaya dan yakin banyak aparatur penegak hukum di pengadilan yang baik. Dan yang baik itu tidak rela teman-temannya melakukan tindakan yang dapat mencederai badan peradilan."