REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Novelis Tere Liye bersama Republika Penerbit dan Gramedia Pustaka Utama per Juli 2017 lalu efektif menghentikan menerbitkan seluruh buku yang ia tulis. Keputusan ini diambil Tere Liye lantaran tidak-adilnya perlakuan pajak kepada profesi penulis dan tidak pedulinya pemerintahan saat ini menanggapi kasus tersebut.
''Banyak yang bertanya dan saya konfirmasi di sini, betul, Republika Penerbit sudah bersepakat dengan Tere Liye untuk menghentikan penerbitan buku-bukunya,'' ujar CEO Republika Penerbit Arys Hilman, Rabu (6/9).
Menurut Arys, ini keputusan yang patut ditangisi karena Tere Liye adalah tipe penulis produktif dan bervisi dengan karya-karya yang sarat nilai-nilai kebaikan. Novel-novelnya memiliki beragam kisah antara lain tentang kekuatan keluarga, perjuangan, cinta kasih, keadilan, kesabaran, dan kejujuran. ''Kami turut merasakan ketidakadilan beleid perpajakan terhadap penulis dibandingkan profesi-profesi lain. Jelas posisi kami bersama Tere Liye,'' ucapnya.
Dunia perbukuan di Indonesia, lanjut Arys, memang tak sememikat karya para penulisnya. "Ini dunia yang mengguncang sebagai materi retorika, namun mudah dilupakan. Ada banyak perhatian seolah-olah terhadapnya, tanpa banyak perbaikan di dalamnya,'' ungkapnya.
Arys melanjutkan, kampanye "no tax on knowledge" gagal dalam dunia perbukuan sebagaimana halnya dalam pers. Dari hulu ke hilir--termasuk penulis--kena pajak. "Anda sebagai pembaca pun kena PPN waktu beli buku. Bandingkan dengan pertunjukan sirkus, fashion show, karaoke, atau masuk diskotek, Anda dapat melenggang tanpa PPN,'' katanya.
Pamitnya Tere Liye dari dunia perbukuan, sambung Arys, adalah teguran santun yang menyengat. Untunglah Tere Liye akan tetap aktif di dunia literasi lewat media yang tak kena pajak, misalnya Facebook. ''Tapi kami percaya, dunia buku tetap tak tergantikan dan kepergian Tere Liye membuat kami sangat kehilangan.''