REPUBLIKA.CO.ID, PURWOKERTO -- Harga eceran tertinggi (HET) beras medium dan premium yang ditetapkan pemerintah melalui Kementerian Perdagangan memberikan kepastian harga yang dapat dipegang oleh masyarakat. Hal itu diungkapkan pakar pertanian dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto Prof Totok Agung Dwi Haryanto.
"Kami tentu menyambut baik kebijakan pemerintah untuk menetapkan HET beras sehingga ada kepastian harga yang dapat dipegang oleh masyarakat," katanya di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Selasa (5/9).
Akan tetapi, kata dia, ada beberapa faktor pendukung yang harus diperhatikan oleh pemerintah, di antaranya bagaimana memperpendek rantai atau tata niaga beras sehingga harga tersebut dinikmati petani, bukan dinikmati oleh pihak-pihak perantara yang panjang yang menyebabkan harga mencapai HET tersebut.
Ia mengatakan jika rantainya panjang, petani tetap menjadi bagian yang tidak menikmati penetapan harga tersebut. Selain itu, kata dia, penetapan HET tersebut apabila tidak disertai kebijakan pemerintah untuk membantu petani akan menjadi sesuatu yang tidak adil bagi petani.
"Kenapa beban tanggung jawab inflasi itu harus ditanggung petani sendiri? Mestinya tetap diimbangi banyak fasilitasi subsidi yang sampai ke tangan petani langsung, misalnya bagaimana menyediakan benih, pupuk, sarana produksi, dan sebagainya yang bisa diakses oleh petani saat mereka membutuhkan," kata Guru Besar Pemuliaan Tanaman Unsoed itu.
Ia mengakui sejauh ini ada bantuan benih tapi kadang-kadang hadirnya tidak tepat dan mutunya tidak sesuai dengan standar. Menurut dia, hal itu harus terus diperbaiki oleh pemerintah sehingga ketika petani harus menanggung inflasi dengan tidak menaikkan harga, petani sudah bisa merasakan perhatian dan keberpihakan yang nyata dari pemerintah untuk kesejahteraannya.
"Sekarang bandingkan dengan jenis-jenis makanan atau minuman yang lain, terutama yang menonjol adalah air minum kemasan. Air minum kemasan yang harganya sampai berlipat-lipat, dia tidak memberikan modal pun, masyarakat menikmati saja, tidak ada yang komplain," katanya.
Ia mengatakan jika dihitung, air minum kemasan harganya mencapai di atas Rp 10.000 per galon, padahal perusahaan tersebut mengambil air tanah begitu saja dan membayar ke pemerintah dengan biaya yang sangat rendah.
Akan tetapi, kata dia, masyarakat tidak mempermasalahkannya karena hal itu merupakan pilihan. Selain itu, kata dia, harga minuman kopi di warung pinggir jalan hanya Rp 2.500 per gelas, sedangkan di kafe bisa mencapai Rp 50.000 per gelas, tetapi masyarakat tetap nyaman karena hal tersebut merupakan pilihan.
"Jadi, saya berpikir kembali bahwa sebetulnya kalau ada masyarakat yang memang ingin membeli gabah atau beras dengan harga mahal tapi dia tidak merasa terbebani dan masyarakat masih punya pilihan dengan harga gabah atau beras lain yang murah, kenapa tidak? Ini bisa memberi manfaat kepada swasta maupun kepada petani yang bisa menikmati harga yang lebih tinggi kalau mereka mampu memroduksi gabah sesuai dengan mutu yang diinginkan oleh perusahaan," katanya.
Lebih lanjut, Totok menyayangkan HET beras yang diberlakukan sejak tanggal 1 September 2017 itu belum dibarengi dengan terbitnya Peraturan Menteri Pertanian tentang Jenis-Jenis Beras yang saat ini masih dalam bentuk draf.
Selama ini ada beberapa jenis beras yang masuk kategori medium, namun harganya berbeda-beda, demikian pula dengan beberapa jenis beras yang tergolong premium. Menurut dia, harga beras premium semestinya tidak distandarkan atau tidak memerlukan HET. Dalam hal ini, dia mencontohkan harga beras Jepang Koshihikari pasti tetap tinggi meskipun petani di Indonesia bisa menanam sendiri.
"Kalau nanti ditetapkan HET-nya sama untuk semua beras premium, enggak akan ada lagi yang tertarik untuk memroduksi beras-beras premium. Sementara kita selama ini dari segi kuantitas beras secara umum, kita sudah memenuhi konsumsi dalam negeri tetapi selalu ada impor tiap tahun dan itu adalah beras-beras premium," katanya.
Ia mengatakan jika ternyata petani di Indonesia mampu memroduksi tentunya mereka punya hak untuk mendapatkan harga sesuai dengan beras premium yang didatangkan dari luar negeri yang memang harganya lebih tinggi dari harga beras yang ada di Indonesia.
Seperti diketahui, Kemendag telah menetapkan HET beras yang berlaku sejak tanggal 1 September 2017 sebagai upaya pengendalian harga dan mencegah aksi spekulan.
Dalam hal ini, HET beras di Jawa, Lampung, Sumatra Selatan, Bali, Nusa Tenggara Barat, serta Sulawesi sebesar Rp 9.450/kg untuk kualitas medium dan Rp 12.800/kg untuk kualitas premium. Sementara HET beras untuk wilayah lainnya terdapat perbedaan berkisar Rp 500-Rp800/kg sebagai margin biaya transportasi.