Senin 04 Sep 2017 04:00 WIB

Jokowi: Indonesia Sudah Kirim Bantuan untuk Rohingya

Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Kura Kura Parlemen, Senayan, Rabu (15/8)
Foto: dok. MPR RI
Presiden Jokowi menyampaikan Pidato Kenegaraan dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Kura Kura Parlemen, Senayan, Rabu (15/8)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo menegaskan, Indonesia sudah menyalurkan sejumlah bantuan untuk meringankan beban rakyat Myanmar, khususnya di negara bagian Rakhine.

"Untuk penanganan kemanusiaan akibat konflik tersebut, pemerintah sudah mengirim bantuan makanan dan obat-obatan pada bulan Januari dan Februari sebanyak 10 kontainer," kata Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka Jakarta, Ahad (4/9).

Presiden menyampaikan pernyataan resmi didampingi oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, Menteri Sekretariat Negara Pratikno dan Wakil Menteri Luar Negeri AM Fachir.

"(Indonesia) juga telah membangun sekolah di Rakhine State dan juga segera membangun rumah sakit yang akan dimulai bulan Oktober yang akan datang, di Rakhine State," ujarnya.

Dua sekolah yang diresmikan pada Januari 2017 itu terletak di Desa La Ma Chae dan Desa Thet Kay Pyia Ywar Ma. Sekolah dibangun dari hasil sumbangan kemanusiaan masyarakat Indonesia yang dikoordinasi oleh Pos Keadilan Peduli Ummah (PKPU), salah satu anggota Aliansi Lembaga Kemanusiaan Indonesia (ALKI) yang aktif memberikan bantuan kemanusiaan di Myanmar.

"Indonesia juga telah menampung pengungsi dan memberikan bantuan yang terbaik. Sekali lagi kekerasan, krisis kemanusiaan ini harus segera dihentikan," kata Presiden.

Presiden juga menugaskan Menlu Retno Marsudi untuk datang ke Bangladesh, perbatasan Myanmar.

"Saya juga menugaskan menlu untuk terbang ke Dhaka di Bangladesh dalam rangka menyiapkan bantuan kemanusiaan yang diperlukan pengungsi-pengungsi yang berada di Bangladesh. Kita harapkan minggu ini kita akan mengirim lagi bantuan makanan dan obat-obatan," ujar Presiden.

Pada Jumat (25/8), sekelompok gerilyawan Rohingya yang bersenjatakan pisau dan bom buatan menurut pemerintah setempat menyerang lebih dari 30 pos polisi di Rakhine utara hingga menewaskan 12 orang. Puluhan militan dilaporkan tewas dalam bentrokan tersebut dan bentrokan lain sesudahnya.

Bentrokan itu membuat ribuan warga sipil dari kedua komunitas tersebut terusir. Dilaporkan bahwa sejumlah warga sipil juga meninggal dunia.

Organisasi "Human Rights Watch" mengatakan, berdasarkan data satelit menunjukkan kebakaran di setidaknya 10 wilayah. Pemerintah mengatakan, militan membakar 'desa-desa kaum minoritas,' sementara para gerilyawan mengaitkan kebakaran tersebut dengan pasukan keamanan dan umat Buddha setempat.

Jumlah warga Rohingya yang berupaya menyelamatkan diri ke Bangladesh terus meningkat. Organisasi Internasional untuk Migrasi, IOM mengatakan, hingga Rabu (30/8), sekitar 18.500 orang Rohingya, kebanyakan perempuan dan anak-anak, melarikan diri ke Bangladesh. Namun, pasukan Bangladesh disebut menghalangi para penduduk Rohingya itu menyeberang ke Bangladesh.

Aksi kekerasan terhadap etnis Rohingya di Myanmar meledak pada 2012 yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar. Pemerintah Myanmar yang dikuasai junta militer lalu membuat sensus penduduk mulai 30 Maret 2014 dan berlangsung selama 12 hari namun ternyata tidak mendata masyarakat etnis muslim Rohingya. Dalam sensus itu, dicantumkan kode nomor etnis yang resmi diakui pemerintah tanpa etnis Rohingya.

Penduduk Myanmar dalam sensus menyebutkan, masyarakat beragama Islam berjumlah 2,3 persen dari total penduduk Myanmar dan tersebar di seluruh negara bagian. Namun, mereka bukan berasal dari Muslim Rohingya karena pemerintah Myanmar tidak mendata etnis Muslim Rohingya.

Pemerintah Myanmar kerap berkilah bahwa penduduk Rohingya adalah imigran gelap dari Bangladesh dan mengingkari hak kewarganegaraan mereka walaupun banyak etnis Rohingya yang mengatakan, mereka telah menetap di Myanmar selama beberapa generasi. Mereka pun tinggal di salah satu negara bagian termiskin di Myanmar, dan gerakan serta akses mereka terhadap pekerjaan sangat dibatasi.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement