Jumat 01 Sep 2017 03:30 WIB

KPK Perpanjang Penahanan Gubernur Sultra Nonaktif

Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nonaktif, Nur Alam.
Foto: Antara/Yudhi Mahatma
Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Nonaktif, Nur Alam.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang masa penahanan Gubernur Sulawesi Tenggara nonaktif Nur Alam, tersangka tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan dalam persetujuan dan penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Provinsi Sultra 2008-2014.

"Dilakukan perpanjangan penahanan tahap pengadilan negeri yang pertama selama 30 hari mulai 3 September sampai dengan 2 Oktober 2017 untuk Nur Alam (NA)," kata juru bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Kamis (31/8).

Sebelumnya, KPK telah menahan Nur Alam pada 5 Juli 2017, setelah ditetapkan sebagai tersangka sejak Agustus 2016. Nur Alam juga pernah mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun hakim tunggal I Wayan Karya menolak seluruh permohonan praperadilan Nur Alam yang dibacakan pada 12 Oktober 2016 lalu.

Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan surat perintah penyidikan KPK pada 15 Agustus 2016 karena diduga melakukan perbutan melawan hukum dan menyalahgunakan wewenang untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.

Menurutnya, dengan mengeluarkan Surat Keputusan Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan Eksplorasi, SK Persetujuan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi dan SK Persetujuan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Ekslorasi menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi kepada PT Anugerah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.

Nur Alam dalam perkara ini disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Pasal tersebut mengatur tentang orang yang melanggar hukum, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya jabatan atau kedudukan sehingga dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau korporasi dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri.

Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen) merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement