REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kuasa Hukum HTI Yusril Ihza Mahendra menilai, Mendagri Tjahjo Kumolo telah melakukan propaganda setelah memutar video acara HTI tahun 2013 di sidang pengujian UU di Mahkamah Konstitusi. Padahal, agenda sidang mendengarkan keterangan, bukan memeriksa alat bukti yang diajukan salah satu pihak dalam sidang pembuktian.
"Selaku kuasa hukum HTI saya mempertanyakan penayangan pidato itu dan menganggapnya sebagai propaganda, dan pemerintah telah menyudutkan HTI," kata Yusril di Mahkamah Konstitusi, Rabu (30/8).
Pakar Hukum Tata Negara ini mengatakan, sidang yang digelar, bukan perkara pidana dan juga bukan perkara tata usaha negara, tetapi perkara pengujian norma Undang-Undang, yakni menguji norma UU terhadap UUD 45. "Bukan mengadili suatu peristiwa kongkret dalam kehidupan masyarakat," katanya.
Menurut Yusril, jika pemerintah mau menjadikan video itu sebagai bukti, seharusnya pada saat agenda sidang pemeriksaan barang bukti. Bukan, pada saat agenda mendengarkan keterangan dari pemerintah sebagai pihak tergugat.
Yusril, mengaku, enggan berdebat dan mempersoalkan keputusan Ketua MK yang mengizinkan video acara HATI tahun 2013 diputar. Arif Hidayat selaku Ketua MK menginzinkan video itu diputar karena alasannya masih berkaitan dengan perkara yang diajukan.
Yusril bersikukuh, pemutaran video tentang HTI yang dianggap menganut, mengembangkan dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila itu justru menjadi bumerang bagi Presiden Jokowi. Sebab, video itu merekam kegiatan HTI tahun 2013 ketika Presiden RI masih dijabat oleh Susilo Bambang Yudhoyono.
Menurut Yusril, jika video itu menjadi bukti adanya kegentingan yang memaksa, sehingga Presiden terpaksa mengeluarkan Perpu, maka Perpu itu seharusnya dikeluarkan oleh Presiden SBY tahun 2013 yang lalu. Tetapi, Presiden SBY memilih mengajukan RUU Ormas untuk dibahas dan disetujui bersama dengan DPR.
Yusril menambahkan, jika pada tahun 2013 kegiatan yang bertentangan dengan Pancasila itu sudah ada, maka seharusnya sejak lama ketentuan UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas diberlakukan untuk membubarkan ormas itu.
Kata Yusril, sungguh tidak masuk akal jika tiba-tiba di tahun 2017 Presiden Jokowi merasa ada hal ikhwal kegentingan yang memaksa sehingga meneken Perpu untuk memberi jalan mudah bagi Pemerintah untuk membubarkan ormas "anti Pancasila" tanpa proses peradilan lebih dahulu sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2013.
"Sementara ormas mana yang anti-Pancasila dan tidak, yang berhak menilai adalah Pemerintah sendiri secara sepihak," katanya.
Sidang MK masih akan dilanjutkan untuk mendengarkan keterangan ahli dan saksi yang diajukan oleh Pemohon Ismail Yusanto dan pihak-pihak terkait dalam perkara ini.