REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengatakan, KPK sebenarnya sudah melakukan kajian tentang dana parpol sejak tahun 2009. Kajian tersebut dalam rangkaian kajian tentang DPR serta partai politik.
"Kajiannya sejak 2009 sebenenarnya. Jadi ada kajian tentang DPR dan ada kajian tentang parpol. Dari rangkaian kajian tersebut ada tindak lanjut hasil kajian," kata Febri, Selasa (29/8).
Setelah tindak lanjut hasil kajian, disepakati kajian spesifik tentang hasil hitungan dana parpol yang baru dilakukan pada tahun 2015-2016. "Dari sana kami baru menyurati otoritas-otoritas yang terkait termasuk menyampaikan surat pada Presiden bahwa kesimpulannya dana yang dialokasikan saat ini untuk Parpol tidak akan cukup membiayai kegiatan Parpol," terang Febri.
Oleh karena itu, KPK mengusulkan perlu ada penguatan Parpol dengan berbagai cara. Pertama dengan menaikan dana parpol, kedua pengaturan akuntabilitas direvisi peraturan pemerintah tersebut dan akan lebih kuat jika direvisi UU tentang Parpol dan soal rekrutmen dan kode etik.
"Kalau hal-hal ini tidak dilakukan secara paralel atau bersamaan maka akan ada resiko pada kenaikan dana Parpol tersebut dan itu sudah kami sampaikan sebelumnya," ucapnya.
Surat Menteri Keuangan Nomor 277/MK.02/2017 tanggal 29 Maret 2017 yang dikirimkan kepada Menteri Dalam Negeri menetapkan bantuan dan kepada parpol tiap tahunnya meningkat menjadi sebesar Rp 1.000 per suara sah dari sebelumnya hanya Rp 108 per suara sah. Alokasi anggaran diambil dari APBN setelah melalui kajian.
Meskipun meningkat, jumlah tersebut masih lebih kecil dari hasil kajian KPK yang menyebut dana partai idealnya sebesar Rp 1.071 per-suara sah. Syarat yang diajukan KPK adalah nilai bantuan harus disesuaikan dengan iuran anggota, ada kode etik dan mahkamah etik di internal parpol serta perekrutan kader parpol harus dilakukan terbuka dan transparan.
Pembiayaan parpol tersebut diikuti dengan revisi atas PP Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan kepada Parpol dan UU Parpol. Revisi dalam dua aturan itu harus memuat sejumlah indikator, yakni perbaikan rekrutmen dan kaderisasi, perbaikan etik politisi, dan pelaksanaan pendidikan politik kepada masyarakat.