REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Kepolisian Bambang Widodo Umar menilai alat-alat bukti dalam kasus sindikat penyedia jasa pembuat konten bermuatan kebencian dan hoax, Saracen, tidak semudah dengan kasus pidana pada umumnya. Sebab kasus ini terkait dengan aturan hukum di dunia siber.
"Artinya alat-alat bukti untuk itu tidak semudah seperti KUHP, kasusnya terkait dengan cyber law, jadi seperti bukti materiil ini tidak seperti tindak pidana umum," katanya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (28/8).
Bambang melanjutkan, karena itu pihak kepolisian harus obyektif dalam menetapkan alat bukti yang tidak seperti tindak pidana umum itu. Selain itu, polisi juga harus independen agar tidak terjadi tunggang-menunggangi antara kepolisian dengan kelompok tertentu.
"Jangan mudah ditunggangi oleh kepentingan kelompok politik tertentu. Dengan kata lain, jangan sampai polisi mencap atau me-labeling kelompok tertentu yang dianggap tidak pro pemerintah. Labeling itu merusak reputasi seseorang atau sekelompok orang dan sama saja pembunuhan karakter," ujarnya.
Menurut Bambang, tidak hanya masyarakat yang menganggap Saracen sebagai istilah baru tapi juga kepolisian.
"Saya kira polisi sendiri masih baru dengan istilah Saracen tersebut, apalagi masyarakat umum. Makanya untuk membuktikan kasus siber inj juga cukup baru," katanya lagi.