REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perhubungan (Menhub), Budi Karya, menjanjikan akan meningkatkan pengawasan atas proyek-proyek yang ada dalam kementeriannya. Namun sesumbar ini, menurut Direktur The National Maritime Institute (Namarin), Siswanto Rusdi, justru bisa menjerat Menhub itu sendiri mengingat ada ratusan proyek dengan dana besar yang dikelola Dirjen Hubla.
Janji Menhub untuk meningkatkan pengawasan, diungkapkan Siswanto, tidak akan efektif karena tugas utama seorang menteri adalah pada penetapan kebijakan, bukan pengawasan. "Sesumbarnya bisa jadi akan menjerat sang menteri sendiri kelak. Soalnya ada ratusan proyek dengan dana besar yang dikelola oleh Ditjen Hubla," ungkap dia dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (26/8) pagi.
Pascaoperasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Direktur Jenderal Perhubungan Laut (Dirjen Hubla) Kementerian Perhubungan, A Tonny Budiono, Menhub menjanjikan akan mengawasi setiap proyek. "Kalau dulu saya lebih banyak di fungsi pengawasan, tapi yang akan datang saya akan lebih awasi dan teliti secara rinci semua proyek yang ada di kementerian," kata Menhub kepada pers di Surakarta, Jumat (25/8), usai bertemu dengan Walikota Surakarta, FX Hadi Rudyatmo, guna membahas transportasi dari dan menuju Bandara Adi Soemarmo.
Siswanto menilai janji Menhub itu tidak cukup untuk mengikis praktik koruptif yang terjadi di instansinya. "Pasalnya, korupsi di Hubla sudah teramat akut dan melibatkan bukan hanya PNS kelas bawah, namun dilakukan pula oleh pejabat tingginya. Sebelum Pak Tonny, Captain Bobby juga tersandung kasus korupsi," ujar dia.
Posisi menteri, dijelaskan lebih lanjut oleh dia, berbeda dengan auditor atau akuntan. Sehingga Menhub jangan sampai menjebak dirinya sendiri dengan jebakan batman. Persoalan di Kemenhub bukan sebatas pengawasan, tetapi lebih dari pada itu. "Ini soal tata kelola yang buruk," kata Siswanto.
Dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta itu mengusulkan, ketimbang mempersulit dirinya sendiri dengan pekerjaan pengawasan yang tak berujung tersebut, Menhub lebih baik mengambil kebijakan melepas berbagai fungsi yang selama ini melekat pada Kemenhub. "Kita semua pasti mengetahui Kemenhub itu adalah regulator yang pada saat bersamaan juga merupakan operator sekaligus auditor. Tidak ada pihak eksternal yang dilibatkan sehingga tidak terjadi check and balances," ungkap Siswanto.
Dia mencontohkan, dalam proses pendidikan pelaut, Kemenhub terlibat langsung mulai dari proses pendidikan, sertifikasi dan pengawasannya. Memang, ada pemisahan antar ketiga bidang tersebut -BPSDM mengurusi pendidikan dan Ditjen Hubla menangani sertifikasi dan pengawasan pelaut-, namun pemisahan ini semu karena semua fungsi tetap berada di bawah payung kementerian yang sama.
"Hal yang sama juga terjadi dalam aspek penegakan keselamatan pelayaran. Pihak yang melakukan sertifikasi dan penegak aturan keselamatan sama-sama orang Perhubungan. Secara psikis mereka akan terikat dengan jiwa korps sehingga akan terjadi 'tahu sama tahu' walaupun sebenarnya kapal tidak layak berlayar," jelas Siswanto.
Karena itu, Namarin mendesak agar Menhub segera menyari terobosan yang jauh lebih substantif dari pada hanya sekadar meningkatkan pengawasan. Menurut Siswanto, cara itu adalah dengan memisahkan ketiga fungsi yang saat ini melekat di Kemenhub sesegera mungkin sebelum terjadi lagi kasus korupsi yang memalukan instansi itu.