Ahad 20 Aug 2017 16:27 WIB

Kisah KH Ahmad Dahlan Dituduh Kafir

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua Umum PP Muhammadiyah, Dr Haedar Nashir, baru saja meresmikan Kampus 1 SMP Muhammadiyah 3 Yogyakarta. Saat memberikan tausiyahnya, ia menceritakan kisah pahlawan nasional dan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan, yang pernah mendapat tuduhan kafir.

"Dulu, Kiai Dahlan disebut kafir, Dahlan kafir, Dahlan kafir," kata Haedar, Ahad (20/8).

Nashir mengatakan, tudingan itu datang saat Kiai Dahlan mencoba meniru model penyelenggaraan sekolah yang ada di negara-negara barat, tapi tetap diisi nilai-nilai Islam. Padahal, model sekolah yang coba dibawa Kiai Dahlan kala itu lumrah terjadi saat ini.

Sayangnya, kemajuan sistem yang dibawa Kiai Dahlan kala itu malah diterima negatif dari sebagian orang, sehingga tudingan itu pun datang menimpa KH Ahmad Dahlan. Lucunya, model penyelenggaraan lembaga pendidikan barat belakangan dianggap modern di Indonesia.

Namun, dari situ lahir dua sistem pendidikan Muhammadiyah. Satu bentuknya seperti sekolah-sekolah yang ada saat ini, kedua tentu berbentuk madrasah, atau pondok pesantren yang terintegrasi kepada madrasah-madrasah yang ada.

"Akhirnya, lahirlah mu'allimin dan mu'alimah, lahirlah Madrasah Diniyah Muhammadiyah yang merupakan embrio dari sekolah-sekolah Muhammadiyah," ujar Haedar.

Konsep madrasah dan sekolah Muhammadiyah sendiri sebenarnya sama, karena ada aspek pembelajaran, termasuk yang sifatnya taklim atau memperdalam ilmu. Taklim ini sekaligus jadi bagian dari perintah Islam kepada setiap umat manusia.

Dia pun mengutip pandangan sejarahwan Kunto Wijoyo, yang melihat dengan pendidikan Muhammadiyah itu, lahirlah generasi Muslim terpelajar yang kuat iman dan kepribadiannya. Tapi, lanjut Haedar, tetap berpikiran maju dan mampu menjawab tantangan jaman. "Contoh Kiai Dahlan, dia sederhana tapi punya karakter," kata Haedar.

Haedar sendiri melihat metode yang diterapkan Kiai Dahlan tidak lazim di Indonesia saat itu, contohnya dalam mengajarkan satu surat Al Ma'un. Saat orang-orang hanya membutuhkan waktu satu jam untuk menghafalnya, Kiai Dahlan menerapkan setidaknya tiga bulan.

Kala itu, Kiai Dahlan pun sempat diprotes karena metoda yang tidak lazim tersebut, lantaran banyak orang cuma ingin menghafal saja. Ternyata, bagi Kiai Dahlan, yang terpenting dalam membaca Alquran merupakan memahami dan menerapkannya, bukan cuma menghafal.

Haedar menekankan, sistem pembelajaran dari surat Al Ma'un saja, ternyata telah mampu melahirkan teologi Al Ma'un dan menelurkan amal-amal lembaga Muhammadiyah. Menurut Haedar, itulah Alquran. Satu surat saja mampu melahirkan begitu banyak jika diresapi. "Nah, paham keislaman seperti ini yang harus terus dirawat," ujar Haedar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement