REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --- Warga Bukit Duri, Jakarta Selatan (Jaksel), melalui kuasa hukumnya terus berupaya menuntut keadilan dengan mengajukan kasasi kasus penggusuran yang menimpa mereka. Pada Rabu (16/8) kasasi warga sudah diajukan ke Mahkamah Agung.
"Pemerintah harusnya berjalan untuk mwnsejahteraan warganya. Ini adalah mandat konstitusi. Mandat ini harusnya dilakukan dalam setiap proses pemerintahan," ujar kuasa hukum warga Bukit Duri Vera W.S. Soemantri saat konferensi pers di Sekretariat Ciliwung Merdeka, Jakarta pada Sabtu (19/8).
Dalam konteks penggusuran warga Bukit Duri ini, menurut Vera, pemerintah telah melangkah kewajibannya yang diamnatkan dalam Undang-Undang (UU) No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Implikasi dari UU tersebut adalah bahwa tanah, bangunan dan seluruh harta lainnya yang digunakan untuk proyek normalisasi wajib diberikan penggantian yang layak dengan harga pasar yang ditentukan tim penilai harga. Selain itu dikatakan bahwa penggusuran juga telah melanggar UU Pokok Agraria Pasal 18.
Melalui UU tersebut, implikasinya adalah bahwa penggusuran paksa dilarang oleh kedua rejin hukum pengadaan tanah untuk kepentingan umum. "Harusnya ada tahap-tahap yang harus dilalui. Ada tahap tahap konsultasi, pengadaan tanah, Dikatakan bahwa tidak ada APBD untuk memberikan ganti rugi. Padahal sudah ada APBD untuk penggantian tanah warga. Hanya saja masalah niat baik dari pemerintah untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan UU," jelas Vera.
Vera juga mengungkapkan, bahwa ganti rugi yang layak diterima warga berdasarkan dokumen perencanaan proyek normalisasi kali Ciliwung yang dibuat Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung-Cisadane (BBWSCC). Dalam dokumen analisi mengenai dampak lingkungan (amdal) tersebut dikatakan bahwa tanah-tanah yang digunakan dalam proyek normalisasi Kali Ciliwung adalah tanah warga yang dimiliki secara turun-temurun dengan bukti kepemilikan jual-beli di bawah tangan, verponding Indonesia dan akta jual-beli.
Gugatan warga pada mulanya dikabulkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kemudian Pemerintah Kota (Pemkot) Jakarta Selatan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) pada 9 Januari 2017. Pada 20 Februari 2017, PTTUN Jakarta Selatan menerima banding tersebut. Memori banding tersebut diperbaiki pada 17 Maret 2017 setelah menerima kontra memori banding dari warga Bukit Duri pada 8 Maret 2017. Dalam kurun waktu empat bulan, perkara banding diputus oleh majelis hakim, tepatnya pada 19 Juli 2017.
Maka dari itu warga mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Warga melalui kuasa hukumnya menyatakan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) DKI Jakarta bertentangan dengan prinsip negara demokrasi.
Vera menjelaskan, bahwa Majelis Hakim PTTUN telah mengabaikan fakta bahwa Surat Peringatan (SP) 1, 2 dan 3 yang dikeluarkan oleh pemkot bertentangan dengan aturan yang ada diatasnya. Yakni ketiga SP tersebut terbit sesuai dengan Perda DKI No. 8/2007 tentang Ketertiban Umum (Tibum).
Berdasarkan Perda Tibum seharusnya Pemda DKI sudah tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban di wilayah sungai. Karena UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya air yang mendasari kewenangan pemda dalam Perda Tibum tersebut, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2013.
Sebelumnya, pada 3 Oktober 2016, Pemkot Jakarta Selatan menggunakan tanah-tanah warga untuk proyek normalisasi tanpa disertai penggantian yang layak. Keputusan tersebut dianggap melanggar prinsip penyelenggaraan pemerintahan yang baik dan UU Administrasi Pemerintahan.