Kamis 17 Aug 2017 05:03 WIB

Kesaksian Memandang Merah Putih Pertama Kali Berkibar

Proklamasi
Proklamasi

Sampai hari ini kisah di seputaran pembacaan teks proklamasi dan penaikkan bendera pada 17 Agustus 1945 di pelataran rumah Bung Karno di Jl Pegangsaan Timur 56 Jakarta , sangat susah diketahui. Padahal banyak orang bertanya-tanya seperti apakah suasana saat itu? Apakah kala itu ada upacara yang megah, ataukah hanya peistiwa yang berlangsung cukup singkat namun khidmat.

Untunglah, setelah berburu lilelatur ada satu buku yang berkisah saat-saat penting itu, yakni buku bertajuk ‘Aku Ingat..., Rasa dan Tindak Siswa Sekolah Kolonial di Awal Merdeka Bangsa’, Penerbit Psutaka Sinar Harapan, tahun 1996.

Dalam buku itu terapat isah yang dituturkan Etty Abdurrahman, lulusan HBS dan PHS Batavia yang pada masa awal kemerdekaan, yakni di  tahun 1947 pernah bekerja  di seksi bahasa Prancis, Siaran Luar Negeri RRI Yogyakarta.

Menurut Ety:”...Orang-orang yang mendengar Prokalmasi Kemerdekaan ini bertepuk tangan. Tidak ribut dan tidak meriah.Sopan dan terang.” Begitu kata Ety ketika mendengar teks Proklamasi dibacakan oleh Bung Karno kala itu.

Untuk Lengkapnya beginilah kisah Ety ketika mengenang acara pembacaan proklamasi dan penaikan bendera merah putih pada 17 Agustus 1945:

...Aku berdiri di bawah pohon bungur yang berbunga ungu di pekarangan rumah Bung Karno, di Jalan Pegangsaan 56 Jakarta. Pagi cerah, Jumat 17 Agustus 1945, suasana tenang tidak ada yang bicara keras. Orang yang dipekarangan tidak banyak. Yang datang adalah orang-orang yang mendengar kabar bahwa hari itu akan ada acara istimewa dan tidak diumumkan.

Kami menunggu dan memperhatikan ruangan depan rumah itu, di mana ada beberapa orang yang mondar-mandir, masuk dan ke luar lagi.

Akhirnya pada pukul 10.00, Bung Karno dan Bung Hatta ke luar dari ruangan tengah dan berdiri di tangga diikuti oleh beberapa orang lain untuk mengikuti acara yang akan dimulai.

Dengan suara khas, Bung Karno membaca teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ditandatangani Soekarno-Hatta.

Tanggal 17 Agustus kami bebas dari segala penjajahan asing! Kami orang Indonesia mempunyai tanah air Indonesia yang berdiri sejajar dengan negara-negara merdeka di dunia ini.

Orang-orang yang mendengar Proklamasi Kemerdekaan ini bertepuk tangan. Tidak ribut, tidak meriah. Sopan dan tenang. Menunggu kemungkinan tindakan //represailes//  (pembalasan) dari tentara Jepang yang masih ada di Indonesia. Namun tidak ada tindakan apapun dari pihak Jepang, seakan mereka terima perubahan situasi di Indonesia dari tanah jajahan menjadi tanah merdeka.

Aku terharu. Ingin menangis tetapi tidak ada air mata yang ke luar. Hanya tenggorokan yang terasa sakit, seperti ada barang yang bergumpal di dalam dan tidak dapat ditelan.

Aku sadar 17 Agustus 1945, dengan  Proklamasi  Kemerdekaan selesailah perjuangan politik dans elesai pula penderitaan pejuang-pejuan politik yang ke luar masuk penjara karena berani menentang pemerintah penjajah asing.

Aku melihat suatu kaleidoskop politik, mulai dari Trikoro Dharmo, Boedi Oetomo, Organisasi nasional dan regional. Serikat Islam, dan seterusnya sampai melalui jalan berliku-ilku mencapi klimaks yang terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945. Merdeka!Dari tempatku berdiri aku melihat bendera merah putih dinaikkan ke tiang bendera di sebelah kiri ‘Gedung Kemerdekaan’, nama yang kami sebut pada hari itu, di bawah pohon bungur. Merah-putih warna bendera kita , yang sekarang bisa berkibar bebas di atas kepala-kepala kita; Tidak lagui sembunyi-sembunyi  kalau lewat kantor penjajah asing.

Dengan kemajuan politik, kita dulu diizinkan memaki ikat leher untuk  kepanduan (sekarang Pramuka). Tidak perlu lagi menunggu izin atasan atau pemerintah untuk memakai bendera merah-putih sebagai tanda Indonesia di gedung-gedung pemerintah dan di mana saja kita berada, baik di dalam maupun di luar negeri. Merah –putih kebanggan kita, dapatkan kita pertahankan bendera kita sesudah 17 Agustus 1945? Harus! Tidak ada jawaban lain.

Kesadaran itu meresap dalam tubuhku ketika melihat bendera kita di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, naik dengan perlahan ke atas kepala kami dan akhirnya mencapai puncaknya untuk berkibar bebas, lepas ditiup angin pagi.

Setelah acara selesai kami semua bergembira. Ada yang cepat meninggalkan tempat itu untuk mengabarkan kawan-kawan yang tak hadir pada acara penting itu.

Aku pulang dengan berbagai perasaan. Gembira, berat hati, lelah, perasaan tak tentu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement