REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung menyatakan pelaksanaan eksekusi jilid IV terhambat dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyebutkan seorang terpidana mati bisa mengajukan grasi lebih dari satu kali.
"Kita juga ingin betul segera eksekusi, kenapa tidak. Tapi, itu persoalannya ada aturan baru dari MK bahwa gerasi itu bisa lebih dari satu kali, bisa berkali-kali dan waktunya tidak dibatasi. Ini persoalan lagi," kata Jaksa Agung HM Prasetyo di Jakarta, Jumat (11/8).
Karena itu, pihaknya saat ini tengah merancang menghadapi trik dari terpidana mati agar tidak dieksekusi. "Karena tidak mustahil, mereka terpidana mati menjadikan dinamika perkembangan peraturan ini menjadi alasan mengulur waktu," ucapnya.
"Yang pasti kita sedang berpikir putusan MK itu tidak berlaku surut. Kita sudah sangat geram, untuk kita eksekusi," katanya.
Tidak ada alasan atau hambatan bagi Kejaksaan untuk tidak melaksanakan eksekusi terhadap terpidana mati kasus narkoba mengingat kondisi Indonesia sudah darurat narkoba, demikian pengamat hukum Universitas Bung Karno, Azmi Syahputra.
"Secara yuridis menurut saya tidak ada alasan atau hambatan untuk tidak dilaksanakan hukuman mati jilid 4," katanya di Jakarta, Rabu (9/8).
Menurutnya, tugas peradilan sudah tuntas sehingga saatnya kejaksaan Agung mengeksekusi agar tampak kepastian hukum sekaligus sikap dan kewibawaan pemerintah bahwa pemerintah terus melawan serta perang terhadap bisnis narkoba.
Ia menuturkan, eksekusi mati dapat dilakukan asalkan telah ada vonis yang berkekuatan hukum tetap, dan terpidana telah menggunakan semua perlindungan hukum termasuk grasi.
Bisnis narkoba adalah salah satu model penjajahan baru dan menghancurkan suatu bangsa. Mental generasi bangsa yang potensial akan rusak akibat peredaran bebas dan konsumsi narkoba.
"Tugas pemerintah melindungi segenap tumpah darah warganya dan menjamin kesehatan sehingga setiap orang atau kelompok yang mengganggu tujuan bangsa Indonesia harus dilawan dan menjadi musuh bersama dalam hal ini para pebisnis narkoba," ujarnya.
Karena itu, kata dia, melihat kenyataannya saat ini terpidana mati narkoba jilid 4 harus dieksekusi segera sebagai wujud sikap negara yang konsisten melawan peredaran narkoba yang semakin massif serta semakin menunjukkan pemerintah hadir melindungi kepentingan yang lebih luas dari masyarakatnya.
Kejaksaan Agung akan meneliti kembali terpidana mati yang bakal dieksekusi pada tahun ini mengingat Indonesia yang sudah darurat narkoba seiring terungkapnya temuan seton sabu-sabu di Anyer dan 300 kilogram sabu-sabu di Pluit, Jakarta Utara.
"Kita prihatin dengan terungkapnya satu ton sabu-sabu di Banten dan ratusan kilo di Pluit. Ini membuktikan tampaknya (Indonesia) pusat jaringan narkoba di Asia Tenggara," kata Jaksa Agung HM Prasetyo seusai menerima kunjungan kerja Komisaris Utama Komisi Anti-Korupsi Malaysia (MACC) Datuk Dzulkifli Ahmad di Jakarta.
Ia menyebutkan kasus narkoba itu pasti merusak generasi Bangsa Indonesia. Karena itu tidak ada kompromi terhadap kejahatan seperti itu. "Harus diperangi sungguh-sungguh," ujarnya.
Ia menyebutkan, pihaknya tidak segan-segan menuntut mati para pelaku perdagangan narkoba tersebut. Jangankan satu ton, tidak ada kompromi, kejahatan seperti itu harus diperangi sungguh-sungguh.
Sebelumnya, aparat gabungan dari Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Polri serta Bea dan Cukai menggerebek sebuah tempat dan menemukan 300 kilogram sabu-sabu di wilayah RW 018, Pluit, Penjaringan, Jakarta Utara, yang dimasukkan ke delapan mesin pemoles.
Satu pelaku, warga negara Taiwan berinisial KHH tewas ditembak aparat, sedangkan dua orang lainnya adalah warga negara Indonesia.
Tim Gabungan Satuan Tugas Merah Putih juga menangkap lima tersangka menyelundupkan satu ton sabu-sabu dari China melalui Perairan Tanjung Berakit, Batam, Sabtu (15/7).