Jumat 11 Aug 2017 12:11 WIB

Ingin Jadi TKI di Malaysia, Tapi Justru Dikirim ke Suriah

Rep: Mabruroh/ Red: Ratna Puspita
[Ilustrasi] Seorang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengintip keluar dari dalam bus.
Foto: Antara/Lucky R.
[Ilustrasi] Seorang korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mengintip keluar dari dalam bus.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- W (47 tahun) punya keinginan bekerja di luar negeri dengan tujuan Malaysia. Lokasi tujuan merupakan negara tetangga sehingga tidak jauh dari Indonesia. Biasanya, gaji yang ditawarkan juga cukup untuk biaya hidup keluarga di kampung halamana. 

Seakan doanya terjawab, datang sponsor yang menawarkannya membantu mewujudkan mimpinya itu untuk bekerja di Malaysia. Singkat cerita wanita asal Banyuwangi, Jawa Timur, ini diberangkatkan oleh perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ilegal menuju Malaysia. Belum sempat menjejakkan kaki di negeri jiran, perusahaan menawarkan W untuk bekerja di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. 

Penawaran itu ketika dia sudah meninggalkan kampung halamannya dan berada di Malang. PJTKI ilegal ini mengatakan W akan menggantikan TKI lain yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di Abu Dhabi. 

Alasannya, kontrak TKI itu telah habis dan belum ada pengganti. “Iya di Malang itu, 'kamu engga usah ke Malaysia kamu ke Abu Dhabi saja, gajinya gede' katanya Rp 4,5 juta," kata W bercerita kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (10/8). 

Tergiur dengan gaji besar, W pun menyanggupi penawaran PJTKI ilegal tersebut. Namun, janji PJTKI itu tidak pernah terwujud. W tidak tiba di Abu Dhabi melainkan di Damaskus Suriah yang sedang dilanda konflk. “Saya tidak tahu kalau ternyata beda, saya dijanjikan ke Abu Dhabi, bukan ke Damaskus," kata dia. 

Awalnya, W tidak punya pikiran buruk ketika melakukan perjalanan ke Timur Tengah. W tidak mencurigai kendati dia harus melakukan beberapa kali transit dalam waktu yang tidak sebentar sebelum tiba ke tujuan. 

Pertama, W diberangkat dari Jakarta menuju Batam. Kemudian, dia menyeberang ke Malaysia, Selanjutnya, dia harus transit di Yordania, dan Turki selama satu bulan. Kemudian, dia dikirim ke Beirut, Lebanon, selama satu pekan. “Selanjutnya diambil agent dibawa ke Damaskus,” kata dia. 

Kala itu, W sudah menyadari bahwa PJTKI ilegal ini menipunya. “Saya sempat bertengkar di Damaskus. Saya bilang bapak-bapak semua ini bohong,” kata dia. 

Namun, perwakilan agen yang menjemputnya di Damaskus berdalih. Dia pun mendebat bahwa PJTKI itu berbohong karena tidak ada pekerja yang bersedia ditempatkan di Suriah.  “Saya juga tidak mau dikirim ke sana karena janjinya kan ke Abu Dhabi," kata dia dengan nada kecewa. 

Menyadari dia tidak punya kekuatan dan lokasi yang jauh dari kampung halaman, W berusaha melakukan pekerjaannya mengurus satu keluarga di Damaskus. Padahal, upah yang didapatkannya hanya 200 dolar atau senilai Rp 2,6 juta rupiah. Gaji yang tidak sesui dengan janji pun menambah catatan baru perjalanannya di negara orang.

Sejak Mei 2016, kehidupannya memasuki drama baru yang dipenuhi rasa takut di negara orang. Ledakan bom semakin sering terdengar di Ibu Kota Suriah itu. Dalam satu pekan, W bisa mendengar dua kali ledakan. Ketika ledakan terjadi, pintu dan jendela ikut bergetar. 

W (47) yang selalu dipenuhi rasa khawatir saat mendengarkan suara ledakan memilih untuk melarikan diri. "Kalau pun saya digaji besar saya tetap kabur, engga mau saya dengar-dengar suara bom lagi. Kalau ada bom lintu rumah jendela bergetar, takut," ujar dia. 

Pada suatu hari pukul 04.00 dini hari waktu setempat, W meninggalkan rumah majikannya. Dia pergi dan mengadu ke KBRI di Damaskus, Sesampainya di KBRI, W (47) mengaku kaget karena ada banyak korban yang juga melarikan diri dari rumah majikan. 

W tidak lagi merasa sendiri. Ternyata apa yang dia alami juga dialami oleh TKI yang lain. "Mereka ada yang satu agen, ada yang beda-beda agen,” kata dia. 

Ada agen PJTKI ilegal yang sudah tertangkap. “Tapi, agen saya malah belum kena (tertangkap), bapak polisi memang minta alamat detailnya ke saya, mau dikejar. Namanya ibu Evi dari Lombok," ungkap W.

Penyidik Bareskrim Polri menangkap dua pelaku tindak pidana perdagangan orang (TPPO) ke Suriah. Tersangkanya bernama Pariati dan Baiq Hafizah alias Evi. 

Praktik perdagangan orang dengan modus pemberangkatan tenaga kerja ke luar negeri ini dilakukan oleh kedua tersangka sejak September 2014 hingga Desember 2016. Pariati (51 tahun) berperan sebagai perekrut calon TKI, sedangkan Baiq alias Evi (41 tahun) diduga sebagai penghubung jaringan Fadi di Malaysia.

Jaringan ini diduga telah mengirimkan ratusan TKI dari Lombok, NTB ke Damaskus melalui jalur Malaysia secara ilegal. Dalam menjalankan aksinya, para pelaku memalsukan identitas para korbannya, termasuk nama, dan tahun lahir. Sebagian besar korban masih berusia anak-anak, antara 14 sampai 19 tahun. 

Kasus itu terkuak setelah korban mengalami penyiksaan selama bekerja dan melarikan diri ke KBRI Suriah di Damaskus. Dalam pengungkapan kasus ini, polisi menyita sejumlah barang bukti di antaranya sebanyak 18 paspor, dua buku tabungan, satu bundel catatan keuangan, satu buku yang berisi catatan keuangan, dan bundel formulir pendaftaran calon TKI, dan tiga ponsel.

Atas perbuatannya, kedua tersangka diancam melanggar Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Selain itu, kedua tersangka juga dikenai pelanggaran UU Nomor 39 tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri dan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement