Jumat 11 Aug 2017 03:45 WIB

Penangkapan Tora Sudiro Dipertanyakan

Rep: Ali Yusuf/ Red: Teguh Firmansyah
Aktor film Indonesia Tora Sudiro (TS) saat konferensi pers di Polres Metro Jakarta Selatan karena diduga mengonsumsi dan menyimpan pil Dumolid, Jumat (4/8).
Foto: ROL/Abdul Kodir
Aktor film Indonesia Tora Sudiro (TS) saat konferensi pers di Polres Metro Jakarta Selatan karena diduga mengonsumsi dan menyimpan pil Dumolid, Jumat (4/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Persaudaraan Korban Napza Indonesia (PKNI) mempertanyakan profesionalisme polisi setelah menangkap dan menahan aktor Tora Sudiro bersama istrinya. Tora ditangkap Polres Metro Jakarta Selatan setelah ketahuan membawa Dumolid.

Pelaksana Advokasi Hukum PKNI, Alfiana Qisthi memastikan kebanyakan para publik figur salah satu di antaranya Tora, tidak mengetahui bahwa Dumolid yang dia konsumsi adalah psikotropika.  "Dia hanya tahu bahwa Dumolid adalah obat penenang," kata Alfiana kepada Republika.co.id, Kamis, (10/8).

Alfiana Qisthi mengatakan salah besar jika penegak hukum di Kepolisiaan menangkap artis dianggap sebuah keberhasilan. Seharusnya, kata dia, polisi menyelesaikan akar masalahnya dengan mengungkap siapa orang yang menjual Dumolid di pasaran.

"Mengapa sampai psikotropika jenis Dumolid ini yang notabene hanya boleh beredar di apotek dan Rumah Sakit bisa beredar bebas di pasaran," katanya.

Alfian menuturkan, zat utama Dumolid ialah nitrazepam, yang merupakan sebuah obat tergolong psikotropika golongan IV. Dumolid memiliki dampak penenang dan sering digunakan untuk mengatasi kegelisahan yang hebat, seperti sulit tidur, dan lain sebagainya.

Peredaran gelap zat semacam ini kata Alfian seharusnya juga menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam mengatasi persoalan kesehatan mental. Mengapa publik masih memilih untuk memperoleh obat semacam ini secara ilegal, bukannya datang ke psikiater untuk memperoleh obat tersebut secara sah.

"Hal ini menunjukan masih tingginya stigma dan diskriminasi pada mereka yang memiliki masalah kesehatan mental dan pemerintah semestinya meningkatkan kampanye untuk mengentaskan stigma tersebut," katanya.

Mengenai peredaran, perdagangan, dan penyerahan psikotropika sebenanarnya telah diatur dalan UU Psikotropika, UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2015 tentang Peredaran, Penyimpanan, Pemusnahan dan Pelaporan Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor Farmasi.

"Sehingga apabila ada kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan, seperti  peredaran psikotropika secara gelap, maka Menteri Kesehatan dan Badan Pengawas Obat dan Makananlah yang harus bertanggung jawab," katanya.

Untuk itu Alfiana menuntut pemerintah dalam hal ini aparat kepolisian tidak hanya menjadi pemadam kebakaran dalam memberantas peredaran narkoba. Pemerintah harus bertindak cerdas dalam menyelesaikan masalah.  "Pemerintah seharusnya sibuk mengatasi akar masalah bukannya menampilkan keberhasilan semu dalam mengeksploitasi fenomena-fenomena kecil seperti ini," katanya.

Alfiana mengatakan harus ada komitmen bersama dari legislatif dan eksekutif untuk menangani permasalahan napza. Terutama perubahan peraturan agar tidak ada proses kriminalisasi hanya karena seseorang mengonsumsi sebuah zat kimia yang ia butuhkan.

 Ali Yusuf

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement