Jumat 11 Aug 2017 00:19 WIB

Anggota Dewan: Rp 300 Miliar untuk Kotak Suara Itu Kecil

Rep: Singgih Wiryono/ Red: Teguh Firmansyah
Ilustrasi Kotak Suara
Foto: Republika/Prayogi
Ilustrasi Kotak Suara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Pansus RUU Pemilu dari Fraksi PPP, Achmad Baidowi mengatakan, jika persyaratan kotak suara transparan dianggap pemborosan, sebainya tidak usah ada pemilu.

Achmad juga menjelaskan, pengadaan kotak suara baru yang berkisar antara Rp 360 miliar rupiah termasuk kecil dibandingkan keseluruhan dana penyelenggaraan pemilu. "Rp 300 miliar dari 10 triliun kan kecil," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/8).

Achmad mengatakan, jika untuk membuat pemilu semakin berkualitas dan kian baik, maka dana yang digunakan bukanlah termasuk pemborosan. Ketakutan pemborosan, kata dia, sama saja seperti tidak menginginkan adanya pemilihan umum secara langsung.

"Kalau bicara boros, nggak usah pakai pemilu. Kalau bicara boros nggak usah pakai pemilu, KPU itu nggak usah aja. Tapi kan nggak bisa begitu, misalkan kalau kita potong (anggaran) berdasarkan pemborosan, nggak usah itu kampanye-kampanye, kalau perlu nggak usah pemilu," jelas dia.

Sebelumnya, Pasal 341 ayat 1 huruf (a) yang mengharuskan kotak suara bersifat transparan, atau isi kotak terlihat dari luar menuai kritikan dari beberapa kalangan pengamat pemilu. Kotak transparan dinilai tidak memiliki esensi dan urgensi dalam pelaksanaan pemilu.

Sekjen Komisi Independen Pemantau Pemilu (KIPP), Kaka Suminta menilai, pasal tersebut merupakan cerimanan UU Pemilu yang dibahas dengan cara yang tidak cermat. KIPP melihat ketidakcermatan anggota dewan tidak hanya dalam hal pasal kotak suara trasnparan tersebut, akan tetapi, kata dia, dalam hal kesuluruhan pembahasan UU pemilu. "Dilakukan dengan tidak cermat, sehingga ketidakcermatan dalam proses dan hasil," jelas dia saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (6/8).

Terkait adanya indikasi kepentingan tertentu dalam pasal tersebut, Kaka mengatakan, KIPP masih menyelidiki apakah benar pasal tersebut merupakan selundupan dari kepentingan pengadaan logistik pemilu. Jika KIPP menemukan pasal tersebut berujung pada pengadaan logistik, maka hal tersebut harus ditindak lebih lanjut lagi. "Kalau benar itu terjadi, sangat mengecewakan, karena seharusnya pemberantasan korupsi satu tarikan nafas dengan penyelenggaraan demokrasi," kata dia mengakhiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement