Kamis 10 Aug 2017 16:13 WIB

'Penolakan Permendikbud Alat Tawar Menawar Politik'

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Bayu Hermawan
 Surat penolakan tentang kebijakan Full Day School (FDS) (ilustrasi)
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Surat penolakan tentang kebijakan Full Day School (FDS) (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah, di dalamnya tercantum aturan jam sekolah delapan jam dari Senin hingga Jumat, menuai penolakan khususnya dari PKB. Penolakan ini, dirasakan Direktur Maarif Institute, Muhammad Abdullah Dazzar, hanya sebagai alat tawar-menawar politik.

"Saya bilang penolakan kebijakan ini, hanya dijadikan sebagai alat tawar-menawar politik. Kebijakan pendidikan, bukanlah instrumen politik murahan untuk tawar-menawar politik. Tidak elok kebijakan pendidikan dijadikan alat politik oleh politikus tunavisi," jelas Dazzar saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (10/8) siang.

Ia menyayangkan adanya penolakan yang terjadi saat ini. Penolakan-penolakan tersebut kental dengan nuansa politik didalamnya.

"Kita menyesalkan politisasi terhadap kebijakan pendidikan seperti ini. Ini membuktikan peradaban politik kita berada di bawah titik nadir," ujarnya.

Polemik mengenai Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017, memang kembali mengemuka. Hal ini nampak dalam komentar beberapa tokoh mengenai penolakan kebijakan ini.

Meski, menurut Direktur Eksekutif MAARIF Institute itu, penolakan ini sama sekali tak berdasar. Sebab kebijakan yang tertuang dalam Permendikbud itu, sama sekali bukanlah kebijakan Full Day School (FDS).

"Permendikbud ini adalah kebijakan untuk memerkuat pendidikan karakter di sekolah. Kebijakan sekolah delapan jam adalah salah satu instrumen dari Program Penguatan Pendidikan Karakter dari Kemendikbud. Tujuannya adalah membangun karakter kebangsaan anak-anak pelajar," jelasnya.

"Program ini sangat penting memberikan ruang dan waktu lebih luas bagi pihak sekolah dan publik, untuk secara kreatif menciptakan aktivitas sekolah yang lebih positif bagi pelajar," kata Dazzar.

Dazzar mengingatkan, upaya-upaya pemerintah Jokowi dalam memajukan pendidikan mestinya mendapatkan apresiasi. "Kebijakan tentu memiliki kelemahan, mestilah direspon dengan bijak melalui saluran yang telah disediakan. Bukan dengan manuver pernyataan politik. Terlalu mahal masa depan pendidikan kita, jika hanya menjadi bahan politisasi politisi-politisi yang berpandangan pendek," tegasnya.

Dazzar juga menanggapi rencana aksi demo penolakan Permendikbud itu, oleh segelintir orang yang menolak diberlakukan aturan tersebut. "Silakan saja berdemo, toh tidak ada larangannya juga kan? Intinya bagi saya, penolakan tehadap kebijakan ini dilakukan secara ekstrim dan apriori. Mereka sepertinya tidak mau membuka pintu dialog. Kalaupun sudah diajak dialog, mereka tidak paham-paham, karena ada kepentingan politis di belakangnya," jelas dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement