Kamis 03 Aug 2017 14:53 WIB

Sempat Mati Suri, Industri Sulam Bukittinggi Kembali Bangkit

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
 Industri sulam Ambun Suri di Bukittinggi kembali hidup setelah sempat vakum sejak krisis moneter dua dekade lalu. Kini omzet sulam Ambun Suri menyentuh Rp 250 juta per tahun berkat pemasaran online.
Foto: Sapto Andika Candra/Republika
Industri sulam Ambun Suri di Bukittinggi kembali hidup setelah sempat vakum sejak krisis moneter dua dekade lalu. Kini omzet sulam Ambun Suri menyentuh Rp 250 juta per tahun berkat pemasaran online.

REPUBLIKA.CO.ID, BUKITTINGGI -- Industri sulam dan bordir yang berkembang di Bukittinggi, Sumatra Barat sempat kelimpungan mengembangkan pasar dan mencari pemenuhan modal pascakrisis moneter tahun 1997-1998 silam. Bukittinggi sendiri terkenal dengan sulaman krancang yang memiliki ciri khas menekankan pada detil dan dikerjakan secara manual.

Salah satunya adalah bisnis sulam Ambun Suri yang digawangi oleh Ida Arleni di Bukittinggi. Usahanya sempat vakum selama lebih dari satu dekade setelah dihantam krisis moneter 20 tahun lalu. Industri sulam yang dikembangkan oleh mertuanya sejak 1975 tersebut terpaksa bertahan dengan produksi seadanya. Pada umumnya, industri sulam di Bukittinggi masih mengandalkan pasar tradisional di sekitaran Sumatra Barat. Ida mengaku, hingga dua tahun lalu belum terlintas di benaknya untuk menjalankan usahanya dengan memanfaatkan jasa marketplace daring.

Hingga dua tahun lalu, pada 2015, bisnis sulam Ambun Suri perhan "bangkit dari mati suri". Beruntung, Pemerintah Kota Bukittinggi mengajukan Ida dan usaha sulamnya untuk mendapat suntikan modal dari Pertamina melalui program tanggung jawab sosial (CSR). Pertamina pula lah yang memfasilitasi bisnis sulam Ambun Suri untuk menawarkan produk melalui penyedia layanan daring, blanja.com.

Ida mengaku, berkat fasilitasi yang dilakukan Pertamina termasuk ajakan pameran di berbagai tempat di dalam dan luar negeri, bisnisnya kembali hidup. Kini, industri sulam Ambun Suri bisa mempekerjakan 40 karyawan, di mana 20 di antaranya adalah karyawan tetap yang ikut tinggal di rumah Ida. Karyawannya pun sengaja Ida pilih dari kalangan keluarga tak mampu yang membutuhkan ketrampilan agar bisa mandiri.

Dua tahun bangkit dari vakum, industri sulam yang Ida pimpin bisa mengumpulkan omzet di atas Rp 20 juta setiap bulannya atau Rp 250 juta per tahun. Bahkan, lanjut Ida, produk yang dihasilkan kini telah menembus pasar internasional termasuk Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Aljazair.

"Setelah menjadi mitra Pertamina, kami tidak menemui kendala lagi dalam hal produksi hingga pemasaran kain sulam dan bordir," ujar Arleni ditemui di workshop usahanya, Kamis (3/8).

Pertamina, lanjut Ida, juga mengenalkannya kepada berbagai peluang pameran, termasuk pameran tahunan Inacraft yang merupakan salah satu pameran kerajinan terbesar di Asia. Bahkan tahun 2016 lalu, Ida mengenalkan produknya di sebuah pameran di Aljazair.

Kini, pasar semakin terbuka lebar, omzet penjualan juga lumayan. Harga jual kain bordir, sulaman, dan tenun itu bervariasi, mulai dari Rp 150 ribu hingga Rp 4 juta per helai.

Area Manager Communication and Relations Pertamina Sumatra Bagian Utara (Sumbagut) Fitri Erika menambahkan, pihaknya memang menyadari bahwa industri kecil dan menengah (IKM) memang harus mulai melirik skema penawaran produk melalui online. Pertamina, lanjutnya, bersama dengan beberapa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya memfasilitas ratusan pelaku UKM untuk menawarkan produk-produknya melalui platform daring.

"(UKM) harus berubah dari sifatnya traksaksional ke online. UKM juga harus bisa memastikan kualitas antara yang ditawarkan di online dan yang dikirimkan," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement