REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar mengungkapkan beberapa faktor yang membuat seorang narapidana masih bisa leluasa mengendalikan peredaran narkoba. Salah satunya adalah karena kuatnya kesan birokrasi, termasuk didalamya aparat penegak hukum bisa disuap dan dibeli kekuasaannya.
Bahkan, menurutnya masih banyak juga aparatur yang tidak hanya mudah disuap, tapi mereka sengaja melakukan pemerasan baik aparat otiritas keluar masuknya orang ke Indonesia, atau aparat penegak hukum termasuk advokat. Mereka juga lah yang biasanya membantu para bandar narkoba jika harus berurusan dengan hukum.
"Masih banyak aparatur sudah rapuh mentalnya. Mafia narkoba bisa membuat hakim, jaksa, polisi, politisi, pengacara, petugas LP, dokter, akuntan, pebisnis dan birokrat bekerja untuk mereka. Karena itu mereka disebut mafia yang dermawan," kata Fickar saat dihubungi Republika, Rabu (2/8).
Selain rapuhnya aparat, kalkulasi keuntungan dan pendapatan dari penjualan narkoba yang sangat besar dan menggiurkan. Situasi ini memperkuat dan mempertebal menumbuhkan kenekadan para pelaku untuk mencari berbagai cara dalam upayanya memperjualbelikan barang haram tersebut.
Selain itu, lanjut Fickar, sistem pengawasan orang asing dan regulasi yang memungkinkan bahkan menstimulus masuknya orang asing tanpa seleksi, secara lansung maupun tidak telah ikut memarakkan terjadinya penyeludupan dan bisnis narkoba di dalam Lapas. "Perpres yang membebaskan Visa WNA 169 negara tanpa seleksi juga berpengaruh terhadap masuknya orang asing yang melakukan usaha illegal," ucap Fickar.
Sebelumnya, satuan Tugas Narkoba Bareskrim Polri menggagalkan peredaran 120 bungkus narkotika jenis ekstasi oleh sindikat jaringan internasional dari Belanda. Tersangka pertama yang ditangkap bernama An Liy Kit Cung alias Acung mengaku dikendalikan oleh seorang narapidana di lembaga pemasyarakatan Nusakambangan bernama Aseng.