REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Menjamurnya angkutan berbasis aplikasi daring dinilai berdampak negatif bagi usaha angkutan darat seperti taksi, angkutan kota, dan angkutan pedesaan. Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda), Ateng Aryono, mengatakan kehadiran transportasi membuat jumlah usaha angkutan transportasi konvensional semakin menyusut.
"Di Jakarta yang semula ada 35 perusahaan dengan jumlah armada sebanyak 27 ribu unit kendaraan taksi, kini tersisa lima perusahaan dengan jumlah armadanya yang tidak lebih dari 11 ribu unit," ujar Ateng di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB, Selasa (1/8) malam.
Sejatinya, kata Ateng, usaha angkutan transportasi konvensional sudah mulai terancam dengan kebijakan pemerintah terkait kendaraan sepeda motor, di mana saat ini rata-rata warga memilih menggunakan sepeda motor dibandingkan transportasi massal. Menurut Ateng, hal ini semakin diperparah dengan munculnya transportasi daring.
Ateng menyoroti perhitungan bisnis usaha transportasi daring yang menurutnya tidak masuk akal. Ateng mencontohkan, untuk taksi konvensional berizin, tarif resminya sebesar Rp 3.700 per kilometer, namun untuk taksi daring hanya Rp 2.300 per kilometer.
Ateng meminta pemerintah mampu mencari jalan keluar atas permasalahan yang dialami para pelaku usaha transportasi konvensional dan juga untuk menghindari perselisihan di lapangan. "Pemerintah harus hadir agar tidak terjadi lagi chaos," kata Ateng.
Ketua Angkutan Penumpang DPP Organda, Kurnia Lesani Adnan, menilai perkembangan taksi daring sudah tidak terkontrol. Menurut dia, pemerintah seharusnya bisa melakukan proteksi melalui sistem peralihan. Hal ini, kata Kurnia, demi menjaga keberlangsungan usaha angkutan konvensional.
"Transportasi publik ini harus diperhatikan. Jangan sampai yang berlisensi tidak tumbuh, tapi yang tidak berlisensi semakin berkembang," ujar Kurnia. Organda sendiri akan menggelar Musyawarah Kerja Nasional pada Rabu (2/8) di Hotel Lombok Raya, Mataram, NTB.