REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (Jubir KPK) Febri Diansyah menyatakan, pihaknya optimistis memenangkan praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional Syafruddin Arsyad Tumenggung terkait kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
"Kalau dilihat dari substansi dan materi yang kami sampaikan, kami yakin sekali akan dimenangkan karena semua argumentasi yang disampaikan kami jelaskan mulai dari hal formil dan hal lainnya," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta, Selasa (1/8).
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengagendakan pembacaan putusan praperadilan yang diajukan Syafruddin Arsyad Tumenggung pada Rabu (2/8).
"Besok direncanakan ada putusan praperadilan dari BLBI. Kami berharap putusan praperadilan yang akan dibacakan hakim besok bisa berkontribusi positif terhadap pengungkapan kasus BLBI yang selama ini masih menjadi tuntutan yang tinggi dari publik agar kasus BLBI ini ditangani," tuturnya.
Terkait praperadilan itu, Febri menyatakan ada beberapa fokus yang KPK juga sampaikan baik secara substansi dari keterangan ahli yang dihadirkan di mana ada tiga ahli dan satu saksi fakta yang dihadirkan dan 117 dokumen sebagai bukti dalam praperadilan tersebut.
"Kami juga menyampaikan poin-poin terkait dengan peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang menegaskan bahwa pengujian tentang status tersangka seseorang itu hanya meliputi aspek formil saja," kata Febri.
Menurutnya, hal tersebut diharapkan diperhatikan secara serius dalam proses praperadilan itu sehingga kemudian pertimbangan-pertimbangan atau putusan yang dijatuhkan tetap mengacu terhadap Peraturan Mahkamah Agung tersebut.
"Kami juga dapat beberapa penguatan terkait dengan kewenangan penghapusan piutang yang kita duga ada penghapusan piutang di sana jadi masih ada kewajiban sebenarnya namun kemudian Surat Keterangan Lunas (SKL) tetap diberikan pada salah satu obligor dalam hal ini adalah Sjamsul Nursalim, itu yang kami uraikan juga," ujarnya.
Febri juga menegaskan bahwa objek dari kasus yang KPK lakukan dalam penyidikan kasus ini berbeda dengan objek yang diproses dan kemudian di SP3 oleh Kejaksaan Agung.
"Kenapa ini perlu kami jelaskan? Karena sebelumnya pihak tersangka menyampaikan bahwa itu sebagai salah satu argumentasi bahwa KPK tidak bisa memproses lagi karena itu sudah di SP3 oleh Kejaksaan Agung sehingga bersifat "ne bis in idem" itu juga kami jelaskan," kata dia.
Febri menyatakan bahwa ne bis in idem itu bukan lah dalam proses penyidikan tetapi seseorang tidak boleh dituntut untuk kedua kalinya jika sudah ada putusan pengadilan.
Selain itu, Febri juga menegaskan bahwa peningkatan status ke penyidikan dalam hal ini terkait Syafruddin Arsyad Tumenggung juga sudah sesuai dengan KUHAP dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.
"Baik minimal dua alat bukti atau pun terkait dengan apakah sudah diperiksa atau tidak calon tersangka pada saat proses penyelidikan, kami sudah melakukan permintaan keterangan terhadap 33 orang termasuk calon tersangka itu sendiri," ucap Febri.
KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.