REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Rencana mengundang grup asal Korea Selatan, SNSD, pada acara kemerdekaan Republik Indonesia ke-72 menuai protes. Bahkan, muncul petisi di Change.org yang meminta Presiden Joko Widodo membatalkan rencana tersebut.
Pembuat petisi itu merupakan Dosen Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran Maimon Herawati. Maimon yang merupakan aktivis pemberdayaan perempuan merasa tersinggung dengan rencana tersebut.
"Saya cek di Youtube dan Googling tentang grup penyanyi ini, videonya lumayan 'terbuka' dan 'syur'. Sebagai aktivis pemberdayaan perempuan, saya tersinggung dengan pilihan kelompok ini karena kental dengan objektifikasi perempuan," ujar Maimon ketika dihubungi Republika.co.id, Sabtu (29/7).
Maimon juga mengatakan, dirinya mengecek video interview grup SNSD. Menurut dia, banyak pola 'perempuan objek' pada interview mereka. Selain itu, Maimon yang pernah melakukan riset tentang Koreanwave ini juga menilai, budaya Korea memang kental patriarkinya.
"Jika grup ini, yang demikian terbuka dan bergoyang panas ditampilkan dalam acara yang memperingati hari kemerdekaan RI, pesan apa yang hendak disampaikan pada generasi muda? Perempuan dan lelakinya?" ujarnya.
Menurut dia, jika rencana mengundang SNSD itu karena lagu dan kualitasnya, masih banyak artis Indonesia yang bernyanyi lebih indah didengar. Jika rencana itu dilihat dari level internasionalnya, kataMaimon, ada banyak artis Indonesia dengan prestasi internasional yang bisa mengisi acara kemerdekaan. "Belum lagi biaya mendatangkannya. Pasti tidak sedikit. Sedangkan kondisi ekonomi negara sedang bermasalah," kata dia.
Maimon juga mempertanyakan letak logis undangan SNSD itu. Walau gratis, kata dia, akan berkenaan dengan imej seksi dan objektifitasi perempuan. Apalagi, menurutnya, negara ini negara mayoritas muslim.
"Walau nggak semua berjilbab, baju serba kesempitan dua nomor itu tidak pantas masuk ke acara yang diprakarsai pemerintah," tutur dia.
Jika grup SNSD mengadakan konser yang diprakarsai oleh swasta, Maimon merasa tak ada masalah. Tapi, rencana ini diprakarsai oleh pemerintah dan dikaitkan dengan perayaan kemerdekaan RI ke-72.
"Revolusi mental? Atau relokasi mental (hilang alat berpikir)," kata dia.