REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi VI DPR Viva Yoga Mauladi berharap Satgas Pangan dapat menggunakan data yang akurat karena memiliki fungsi yang sangat penting untuk mengawasi sejumlah kebutuhan pokok warga.
"Tugas satgas itu untuk melakukan stabilisasi harga secara nasional, menjamin ketersediaan, keterjangkauan, kandungan gizi yang layak terhadap pangan yang akan dikonsumsi rakyat, karena itu data yang digunakan harus akurat," kata Viva Yoga Mauladi dalam rilis yang diterima di Jakarta, Jumat (28/7).
Menurut Viva, Satgas Pangan juga harus berhati-hati sehingga tidak disusupi kepentingan pihak tertentu atau terjebak dalam moral hazard dalam menangani suatu kasus. Politikus PAN itu juga mengingatkan bila data tidak akurat berpotensi terjadi salah kaprah dalam pengawasan dan penindakan.
Ia melanjutkan hal tersebut bisa berdampak kepada hal lain seperti petani yang menjadi takut dalam menjual hasil pertaniannya. "Kalau begitu akan ada kriminalisasi petani padi, kopi, jagung, kakau dan lain-lain, ketika menjual mahal ke pengusaha. Sementara, output, hasil petani yang disubsidi itu bukan tindakan pidana," kata dia.
Selain itu, dia menyatakan, jika ada ancaman pidana maka petani akan takut menjual beras ke pasar yang juga mengakibatkan seperti Pasar Induk Cipinang yang sempat kekurangan pasokan beras. Viva juga mengingatkan tidak ada satupun undang-undang yang melarang pembelian gabah atau padi milik petani dengan harga lebih tinggi dari kemampuan Bulog untuk mendapatkannya.
"Tidak ada undang-undang yang melarang untuk itu. Justru dengan adanya pelaku usaha yang membeli diatas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) itu langsung menguntungkan petani," kata dia.
Namun demikian, wakil rakyat dari daerah pemilihan di Jawa Timur itu mengapresiasi langkah Satgas Pangan yang sudah sesuai perintah UU No 18 Tahun 2016 tentang Pangan dalam menjalankan tugasnya. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 47 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, harga eceran tertinggi (HET) beras di tingkat konsumen sebesar Rp 9.000 per kg meliputi jenis medium dan premium.
Selain itu, HET yang berlaku untuk gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 3.700/kg, gabah kering giling (GKG) Rp 4.600/kg dan beras di tingkat petani Rp 7.300/kg.
Sebelumnya, Ketua Komite Tetap Ketahanan Pangan Kadin Indonesia Franciscus Weliramg mengatakan harga beras dengan kemasan dan branding yang baik tidak bisa disamakan dengan harga beras eceran. Beras premium tentunya menggunakan standar mutu dan pengolahan yang berbeda serta memakan ongkos produksi yang lebih besar dari beras medium.
"Harus didefinisikan yang dimaksud beras premium itu bermerek atau bukan. Di Indonesia mau mengukur kadar air dan warna beras bagaimana? Selama ini hanya pakai perkiraan pedagangnya. Pengepul akan lihat berasnya lalu tentukan harganya," kata Franky.