REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengajukan 117 bukti dalam proses praperadilan yang diajukan mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bukti-bukti yang diajukan itu terdiri dari surat menyurat BPPN, Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI, dan Kementerian Keuangan. "Selanjutnya, dokumen terkait perjanjian dan dokumen lain terkait Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), Berita Acara Permintaan Keuangan (BAPK), dan SP3 Kejaksaan Agung," kata Febri di gedung KPK, Jakarta, Kamis (27/7).
Menurut Febri, KPK meyakini dalam penyidikan kasus tersebut sudah dilakukan berdasarkan minimal dua alat bukti.
"Materi penyidikan berbeda dengan penyidikan yang pernah dilakukan oleh Kejaksaan Agung karena dalam salah satu argumentasi pemohon, objeknya sama sehingga "ne bis in idem"," tuturnya.
Direncanakan pada Jumat (28/7) besok, KPK akan menghadirkan satu orang ahli pidana dan tiga orang ahli dalam lanjutang sidang praperadilan tersebut. Sidang perdana praperadilan Syafruddin Arsyad Tumenggung sendiri sudah dimulai sejak Selasa (25/7).
"Hari ini adalah sidang hari ketiga dengan agenda pembuktikan dokumen oleh pemohon dan termohon. Kami harap publik mengawal proses hukum dalam penanganan kasus BLBI ini, termasuk praperadilan yang sedang berjalan," ucap Febri.
Sebelumnya, tim kuasa hukum Syafruddin Arsyad Tumenggung mencabut permohonan praperadilan karena akan melakukan perbaikan dan akan mengajukannya kembali. "Kami akan sempurnakan dulu karena kami dapat informasi baru terkait dengan perkara BLBI, nanti akan kami sampaikan," kata Muhammad Ridwan, anggota tim kuasa hukum Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (15/5) lalu.
KPK telah menetapkan mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Tumenggung sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada Sjamsul Nursalim.
SKL diterbitkan berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2002 tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitor yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitor yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).
Inpres itu dikeluarkan pada saat kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri yang juga mendapat masukan dari Menteri Keuangan Boediono, Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuntjara-djakti dan Menteri BUMN Laksamana Sukardi.
Berdasarkan Inpres tersebut, debitur BLBI dianggap sudah menyelesaikan utang, meski baru melunasi 30 persen dari jumlah kewajiban pemegang saham dalam bentuk tunai dan 70 persen dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.
Syafruddin diduga mengusulkan pemberian Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham atau SKL kepada Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham atau pengendali Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) pada 2004.
Syafruddin mengusulkan SKL itu untuk disetujui Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dengan melakukan perubahan atas proses ligitasi kewajiban obligor menjadi restrukturisasi atas kewajiban penyerahan aset oleh BDNI ke BPPN sebesar Rp 4,8 triliun yang merupakan bagian dari pinjaman Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Oleh karena itu, hasil restrukturisasinya adalah Rp 1,1 triliun dapat dikembalikan dan ditagihkan ke petani tambak sedangkan Rp 3,7 triliun tidak dilakukan pembahasan dalam proses restrukturisasi. Artinya ada kewajiban BDNI sebesar Rp 3,7 triliun yang belum ditagihkan dan menjadi kerugian negara.