Ahad 16 Jul 2017 10:21 WIB

Jokowi Setelah Perppu Ormas

Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat menyusuri Jalan Trans Papua di ruas Wamena-Mamugu dengan mengendarai sepeda motor trail, Rabu (10/5).
Foto:
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Indonesia Joko Widodo

Kita memahami ada kekwatiran di sekelompok masyarakat akan meluasnya radikalisasi Islam. Sebelum terlambat, sebelum indonesia menjadi Suriah, dianggap harus ada "the act of statemanship." Presiden dianggap lembaga paling berwibawa mengambil jalan pintas, menerbitkan Perpu, karena kegentingan yang memaksa.

Persoalannya, benarkah ada kegentingan memaksa saat ini sehingga diperlukan sebuah Perpu untuk membubarkan ormas? Apa ukuran kegentingan memaksa itu?

Apa benar Pancasila terancam dan akan digantikan negara Islam, atau khalifah internasional? Mari kita uji dengan data, data dan data.

Mustahil pancasila bisa diganti tanpa lewat persetujuan DPR/MPR. Sementara  empat partai terbesar di DPR/MPR adalah PDIP, Golkar, Gerindra, Demokrat. Total 4 partai ini saia sudah di atas 50 persen. Mustahil 4 partai ini bersetuju dengan manuver mengganti Pancasila.

Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa persetujuan opini publik. Silahkan cek hasil survei lembaga yang kredibel. Publik indonesia yang setuju negara Islam di bawah 10 persen. Di atas 70 persen menginginkan Pancasila.

Mustahil Pancasila bisa diganti tanpa mengalahkan TNI dan kepolisian. Mungkinkah TNI dan kepolisian menggunakan senjata untuk mengganti Pancasila?

Cukup dengan common sense itu saja, dapat kita pahami apa benar ada kegentingan yang memaksa sehingga diperlukan Perpu untuk membubarkan ormas (kebebasan berserikat) tanpa lewat pengadilan.

Jokowi bisa jadi sukses menggoalkan Perpu ini. Dengan team yang kuat, Jokowi mungkin sukses mengalahkan penggugatnya di Mahkamah Konstitusi. Jokowi mungkin sukses pula menggoalkan perpu itu di sidang DPR.

Namun Jokowi akan susah melawan palu godam sejarah. Justru semakin sukses Jokowi menggoalkan Perpu itu semakin pula Jokowi akan dikenang sebagai "problem" dalam sejarah evolusi demokrasi modern dan hak asasi manusia di Indonesia.

Kecenderungan meluasnya prinsip hak asasi manusia dan demokrasi modern terlalu kuat untuk dilawan oleh siapapun. Kutipan opini Human Right Watch yang dipublikasi Washington Post seharusnya cukup menjadi warning bagi Jokowi. ia tidak sedang melawan HTI. Tapi Jokowi sedang melawan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi modern.

Justru karena kita cinta Jokowi, ia harus disapa. Cinta sejati seorang pendukung adalah mendukungnya ketika benar, dan mengeritiknya ketika salah arah.

Juli 2017

*DR Deny JA, Pengamat Politik dan Pendiri LSI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement