Ahad 16 Jul 2017 05:07 WIB

Mendidik di Era 'Candu Gawai'

Pengadilan mengungkap, Cook berpura-pura usianya lebih muda saat berbincang di chatroom internet.
Foto: ABC
Pengadilan mengungkap, Cook berpura-pura usianya lebih muda saat berbincang di chatroom internet.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Martino *)

Dalam pola asuh anak, kedekatan orang tua menjadi syarat keberhasilan bagi pembentukan karakter anak. Kedekatan itu diterjemahkan dalam pelaksanaan peran orang tua sebagai pengasuh, pengasih dan pendidik di lingkungan keluarga. Kini di era teknologi peran tersebut mendapat banyak tantangan dengan lahirnya gawai, internet dan media sosial.

Pemanfaatan fungsi gawai selain sebagai alat komunikasi mulai menyita waktu, perhatian dan mengikis kedekatan orang tua dan anak secara kuantitas maupun kualitas. Bahkan dalam penggunaan tanpa batas, muncul kecenderungan gawai difungsikan sebagai bentuk praktis pengganti perhatian dan didikan orang tua pada anak. Sementara peran sejatinya orang tua kian terkikis.

Alarm bersama

   

Ketika penggunaan ponsel dan internet tidak diimbangi dengan kematangan perilaku dan pemikiran, kecanggihannya justru menciptakan candu. Ketidakseimbangan ini menyebabkan perubahan perilaku yang semula bertujuan memenuhi kebutuhan menjadi ketergantungan. Muncul dorongan untuk terus menggunakan ponsel setiap saat untuk alasan beragam. Ada rasa resah yang muncul ketika tidak aktif berponsel.

Perilaku demikian dikenal sebagai nomophobia, yaitu kumpulan keresahan yang mendorong seseorang untuk terus menerus aktif berponsel dimanapun dan kapanpun. Gejala ini diindikasikan munculnya fenomena ‘generasi menunduk’, istilah bagi pengguna ponsel yang perhatian dan waktunya selalu tersita oleh ponsel yang ada digenggamannya tanpa peduli sekitar. Kondisi ini semakin membenarkan anggapan bahwa penggunaan ponsel dimasa kini seringkali menjauhkan kedekatan dan mematikan kepekaan sosial.

Memperhatikan hasil survei APJII tahun 2016, penggunaan ponsel dan internet terus meninggi. Internet digunakan oleh 24,4 juta anak-anak dan remaja, 32,3 juta orang dewasa dan 38,7 juta orang tua. Dari jumlah itu, akses internet menggunakan ponsel sebesar 63,1 juta. Hal yang menjadi perhatian, rerata frekuensi penggunaan internet mencapai tiga hingga lima jam per hari untuk mengakses konten media sosial dan hiburan.

Artinya tiga hingga lima jam perhari tersebut mengambil waktu disela-sela beraktivitas di sekolah, kantor, jalan dan rumah. Waktu yang paling berpotensi banyak digunakan tentu adalah dirumah. Sehingga seringkali penggunaan ponsel menghabiskan banyak waktu di lingkungan keluarga yang seharusnya dapat digunakan oleh anak dan orang tua saling berinteraksi.

Perlu diwaspadai jika ketergantungan dan namophobia sudah memasuki lingkungan keluarga. Sebagai institusi sosial tempat penanaman nilai dasar lewat hubungan asah, asih, asuh orang tua kepada anak, keluarga terancam kehilangan peran sebagai wadah pendidikan anak sejak penggunaan ponsel berlebihan. Banyak fenomena menunjukan perhatian dan waktu orang tua tersita untuk bermain ponsel dibanding mengasuh anak. Atau sebaliknya, keterbiasaan anak dijejali ponsel sejak kecil membuatnya lebih tertarik dan senang bersama ponsel daripada berinteraksi bersama orang tua.

Beragam konten internet yang diakses secara bebas memberikan intervensi nilai dan pembentukan persepsi secara langsung tanpa saringan. Khususnya bagi anak-anak yang secara alamiah belum memiliki kematangan perilaku dan pemikiran. Konten yang diakses secara rutin dalam jangka panjang akan membentuk kepribadian dan pemikiran anak secara autopilot. Oleh sebab itu  peran orang tua dibutuhkan dalam melakukan pengawasan penggunaan ponsel dan internet oleh anak. Namun masalahnya, kini tidak setiap orang tua sadar peran itu. Bahkan, sebagian orang tua justru ikut kecanduan dan tersita waktunya oleh penggunaan ponsel.

Kondisi ini bila dibiarkan menyebabkan kedekatan anak dan orang tua dalam keluarga  merenggang. Bahkan orang tua menjadi kesulitan memberikan asuhan dan didikan karena anak kehilangan ketertarikan dan panutan. Padahal, interaksi keluarga merupakan sarana terbaik pendidikan dan pengembangan karakter anak sejak dini. Tanpa adanya kedewasaan dalam penggunaan ponsel bagi orang tua dan pengawasan penggunaan bagi anak, keduanya menyebabkan kerentanan hubungan yang semakin berjarak. Kekhawatiran terbesar lahir jika kelak bangsa ini dijejali generasi milenial yang tumbuh besar oleh didikan internet, bukan oleh sentuhan didikan orang tua.

Mendidik ketergantungan

Fenomena perilaku ketergantungan dan nomophobia merupakan cerminan terjadinya kesenjangan kebudayaan (cultural lag) akibat masuknya teknologi. Nilai, pemikiran dan perilaku manusia sebagai kebudayaan non-materiil dipaksa beradaptasi dengan masuknya teknologi ponsel sebagai perkembangan budaya yang bersifat materiil. Ketidakmampuan melakukan antisipasi dan kendali perilaku terhadap penggunaan ponsel ditingkat keluarga akan menciptakan jurang pemisah yang menjadi bibit masalah sosial. Hal ini mulai nampak ketika orang tua tanpa sadar menukar peran dan waktunya dengan ponsel sehingga sentuhan didikan terhadap anak berkurang. Oleh sebab itu meskipun kebutuhan ponsel dan teknologi komunikasi sesuatu yang tak dapat dihindari, bukan berarti kita tidak dapat menyiasati penggunaannya sesuai porsi yang tepat.

Secara tegas dan sadar, mendidik perilaku penggunaan ponsel perlu difokuskan pada perubahan perilaku anak dan juga diri orang tua secara bersamaan. Sebab dalam banyak kasus, orang tua menjadi faktor kunci dalam menciptakan atau mencegah ketergantungan dan nomophobia pada anak dan dirinya sendiri. Maka setidaknya ada tiga perilaku pemicu ketergantungan dilingkungan keluarga yang perlu dihentikan yaitu pembiasaan, pembiaran dan pelepasan dalam penggunaan ponsel dan internet.

Pembiasaan lahir dari pola didikan orang tua yang memanjakan anak dengan akses dan fasilitas ponsel secara bebas. Hal ini seringkali dilakukan oleh orang tua yang terlampau sibuk dengan pekerjaan. Sehingga jalan pintas memberikan perhatian anak dilakukan dengan menjejali kebiasaan bermain ponsel. Inilah yang kemudian tumbuh menjadi kebiasaan yang terbentuk hingga dewasa. Untuk mengatasi hal ini dapat dilakukan melalui hal mendasar yakni mengembalikan tanggung jawab orang tua sebagai pendidik di lingkungan keluarga. Orang tua secara sadar perlu menghadirkan diri dengan turun tangan dalam mengasuh dan mendidik tumbuh kembang anak tanpa mengandalkan ponsel.

Sementara pembiaran sering dilakukan ketika orang tua telah menyadari dirinya dan anak mulai sering tidak saling memperhatikan dan tidak peka terhadap lingkungan akibat terlalu sibuk dengan ponsel. Namun tidak ada tindakan apapun untuk merubah hal itu meskipun hanya sekedar mengingatkan atau mendisiplinkan penggunaan ponsel untuk diri sendiri dan anggota keluarga.

Untuk itu mulailah untuk mendisiplinkan diri dan anggota keluarga untuk melakukan manajemen penggunaan ponsel dirumah. Jika terdapat indikasi ketergantungan ponsel dan internet maka segera saling tegur, ingatkan dan disiplinkan. Selaras dengan itu, dilingkungan keluarga perlu pula menerapkan jam bebas ponsel dan internet. Misalnya pada jam belajar, waktu makan dan kumpul keluarga, serta jam istirahat.

Adapun pelepasan erat kaitannya dengan pola didikan formal yang mengharuskan anak tanggap teknologi dan belajar secara mandiri melalui internet. Meskipun positif, tuntutan ini seringkali membuat para orang tua terlena sehingga lupa memberikan batasan dan pengawasan terhadap penggunaan ponsel dan akses konten internet oleh anak. Oleh sebab itu dalam penggunaan ponsel untuk kebutuhan komunikasi, belajar, hiburan dan pencarian informasi di internet, orang tua perlu memberikan pendampingan agar peran dalam membimbing dan mengawasi aktivitas anak tetap berjalan efektif.

Penyesuaian perilaku penggunaan ponsel bukan berarti membatasi pemanfaatan teknologi. Namun merupakan bentuk didikan penyiapan diri dan anggota keluarga secara intensif dan berkelanjutan agar kemajuan teknologi memberi manfaat peningkatan kualitas hidup, bukan sebaliknya. Lewat peran keluarga diharapkan tumbuh generasi kekinian yang peduli, cerdas dan memiliki adab pemanfaatan teknologi. Hal ini sekaligus menjadi penguatan kembali peran keluarga sebagai wadah pembentukan sikap dan perilaku sejak dini. Dengan demikian kita dapat mengembalikan kehangatan ruang-ruang keluarga sekaligus melihat tumbuh kembang anak melalui didikan orang tua dan sentuhan teknologi sesuai kebutuhan.

*) Pemerhati Sosial dan Kebijakan Publik, Peneliti pada Arsip Nasional RI

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement