REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyikapi hadirnya draft Undang-Undang Penyiaran yang dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR RI. KPI menilai kehadiran UU Penyiaran baru menjadi sebuah keharusan.
Hal itu mengingat UU yang ada saat ini tidak dapat mengakomodasi perkembangan teknologi informasi terbaru sehingga muncul problematika di dunia penyiaran. Isu revisi UU Penyiaran sudah bergulir sejak 2010. "KPI berharap pembahasan RUU Penyiaran tidak berlarut-larut dan dapat segera diselesaikan untuk disahkan," ujar Ketua KPI Yuliandre Darwis dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.co.id, Jumat (14/7).
KPI berpendapat pengelolaan penyiaran digital harus mengedepankan prinsip keadilan, kesetaraan, dan efisiensi yang menjadi tujuan utama dari migrasi digital. Efisiensi tersebut diharapkan menghasilkan digital dividen yang dapat dialokasikan untuk penyediaan internet broadband.
Menurut Yuliandre, eksistensi KPI sebagai representasi publik perlu diperkuat dalam UU Penyiaran yang akan datang. Penguatan itu meliputi perluasan kewenangan di bidang isi siaran, serta tetap melibatkan KPI di dalam seluruh proses penataan infrastruktur penyiaran. Hal itu bertujuan untuk mengontrol kaidah pokok demokratisasi penyiaran yaitu keberagaman kepemilikan.
Dia mengatakan KPI harus masuk ke dalam Badan Migrasi Digital. Dalam draf RUU yang dibahas Baleg DPR RI, badan tersebut hanya terdiri atas pemerintah, organisasi lembaga penyiaran, dan pemangku kepentingan. KPI mengkritisi keberadaan organisasi lembaga penyiaran (OLP) dalam proses regulasi seperti Badan Migrasi Digital dan panel ahli dalam penjatuhan sanksi.
KPI menilai kehadiran OLP pada proses tersebut akan menimbulkan kesimpangsiuran antara operator dan regulator. Meski demikian, dia mengatakan regulator tetap harus mempertimbangkan aspirasi OLP sebagai operator. Mengenai keberadaan OLP dalam panel ahli, KPI melihat adanya potensi konflik kepentingan antara regulator dan operator karena OLP adalah objek yang akan dikenai sanksi.
Menurut KPI, batasan siaran iklan sebanyak maksimal 30 persen dapat mengganggu kenyamanan publik sebagai pemilik frekuensi. Selain itu, meningkatnya proporsi siaran iklan berdampak pula pada keadilan ekonomi pada televisi lokal. "KPI menilai harus ada distribusi iklan yang merata pada masing-masing lembaga penyiaran, tidak terpusat pada lembaga penyiaran tertentu saja," ujar Yuliandre. Mengenai iklan rokok, KPI mendukung rumusan yang diajukan oleh Komisi I DPR RI yang telah lebih dahulu dibuat sebelum pembahasan di Baleg DPR RI.