Jumat 14 Jul 2017 10:15 WIB

Tjahjo: Tidak Elok Berkoalisi Tapi Menikam dari Belakang

 Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyapa wartawan seusai melakukan pertemuan tertutup di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/5).
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyapa wartawan seusai melakukan pertemuan tertutup di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo berpendapat saat ini etika politik berkoalisi semakin tidak jelas karena kepentingan jangka pendek. Dia mempertanyakan mengapa saat ini parpol koalisi mudah saja meninggalkan etika berkoalisi.

Padahal, Tjahjo mengatakan, dalam berkoalisi dengan pemerintah harusnya semua keputusan politik bisa dilaksanakan, diamankan, diperjuangkan bersama dan beriringan. "Jadi tidak ditinggal lari sendiri di tengah jalan. Tidak elok berkoalisi tapi menikam dari belakang," kata dia di Jakarta, Jumat (14/7).

Tjahjo mengatakan pernyataan itu bukan hanya terkait RUU Pemilu. "Yang saya sampaikan tidak pada masalah RUU Pemilu. Tapi berkoalisi dalam konteks yang lebih luas apalagi koalisi politik dalam pemerintahan," ujar dia.

Terkait RUU Pemilu, Tjahjo meminta partai politik pendukung pemerintah atau parpol koalisi semestinya konsisten dalam mendukung upaya pemerintah memperkuat pemerintahan presidensial dalam pembahasan aturan tersebut. "Partai-partai yang mendukung pemerintah tentunya harus konsekuen dan konsisten untuk memperkuat sistem pemerintahan presidensil," ujar dia. 

Lima fraksi koalisi partai pendukung pemerintah kompak memilih paket A dari lima opsi paket isu krusial Rancangan Undang-undang Pemilu. Lima partai tersebut antara lain Partai Golkar, PDIP, Nasdem, PPP dan Hanura.

Paket A berisi poin ambang batas presiden 20/25 persen, ambang batas parlemen 4 persen, sistem pemilu terbuka, jumlah kursi per dapil 3-10 dan metode konversi suara saint lague murni.

Sikap fraksi tersebut ditunjukkan pada rapat kerja pansus RUU Pemilu dengan pemerintah, Kamis (13/7). Sikap lima fraksi tersebut menunjukan ada perubahan sikap. 

Jika sebelumnya hanya tiga fraksi yang sudah jelas mendukung presidential threshold 20-25 persen sesuai opsi paket A, yakni Partai Golkar, PDIP dan Nasdem. Kini, PPP dan Hanura juga ikut sepakat dengan isi paket yang berisi presidential threshold 20-25 persen tersebut.

Partai koalisi pendukung pemerintah lainnya, yakni PAN dan PKB justru tidak memilih diantara lima opsi paket dan menghendaki lima paket dibawa ke rapat paripurna DPR. Sikap fraksi PKB dan PAN tersebut senada dengan tiga fraksi di luar koalisi partai pendukung pemerintah lainnya yakni Partai Demokrat, Gerindra dan PKS juga kompak tidak memilih paket dalam Pansus dan meminta agar paket dibawa ke paripurna DPR.

Panitia Khusus RUU Penyelenggaraan Pemilu DPR RI memutuskan membawa lima opsi paket lima isu krusial ke rapat paripurna pada 20 Juli setelah gagal mencapai kesepakatan melalui forum lobi.

Empat paket lainnya, yaitu Paket B, presidential threshold (nol persen), parliamentary threshold (empat persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

Paket C, presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold (empat persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

Paket D, presidential threshold (10-15 persen), parliamentary threshold (lima persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-8 kursi), metode konversi suara (saint lague murni).

Paket E, presidential threshold (20-25 persen), parliamentary threshold (3,5 persen), sistem pemilu (terbuka), alokasi kursi (3-10 kursi), metode konversi suara (quota hare).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement