REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (UGM) memberikan pandangannya tentang keinginan pemerintah mendorong angka kelahiran yang lebih tinggi. Hal itu dilakukan dengan dalih peningkatan produktivitas penduduk.
Melalui rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (14/7), berikut pandangan tim yang terdiri dari sejumlah peneliti UGM seperti Sukamdi, Agus Hadna dan Pande Made Kutanegara.
1. Program Keluarga Berencana (KB) seringkali hanya dikaitkan dengan isu pengendalian jumlah atau kuantitas penduduk. Padahal, konsep ini dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi kekinian yang sering mengedepankan isu HAM dan demokrasi.
Pada kondisi itu program KB harusnya dimaknai dalam konteks upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas hidup penduduk yang berbasis kepada hak, serta bersifat sukarela.
2. Cakupan KB sebetulnya jauh lebih kompleks dari sekadar pengendalian pertumbuhan penduduk KB memiliki pengaruh signifika terhadap berbagai indikator kesehatan, terutama reproduksi. Sebagai contoh, sesuai Survei Penduduk Sensus 2015 angka kematian ibu di Indonesia yaitu 305 kematian per 100 ribu kelahiran.
Sebagian besar kematian disebabkan faktor pendarahan akibat usia yang terlalu tua, jarak kehamilan yang rapat, dan terlalu banyak anak. Di sini arti penting program KB. Atas dasar ini PSKK UGM menekankan pemahaman konsep keluarga berencana bukan hanya soal kuantitas penduduk, tapi isu kualitas penduduk harus dijadikan dasar pemerintah untuk menyusun kebijakan kependudukan di Indonesia.
3. Pemerintah tidak perlu tergesa-fesa menyimpulkan saat ini angka fertilitas sudah terlalu rendah, sehingga butuh redesain program KB dengan menambah jumlah anak. Ada kekhawatiran sementara kalau program KB yang sudah berlangsung sejak akhir 1970an dinilai tidak lagi tepat karena menyebabkan kekurangan jumlah penduduk suia produktif.
Sementara, negara justru memerlukannya guna mencapai bonus demograsi secara maksimal. Muncul kekhawatiran Indonesia akan seperti Jepang dengan jumlah penduduk lansia sangat tinggi, sedangkan jumlah penduduk usia produktifnya rendah.
4. PSKK UGM tidak sejalan dengan pendapat itu, dan menilai kalau secara alamiah jumlah penduduk lansia memang akan meningkat, mengingat semakin baiknya tingkat kesejahteraan, kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Ada peningkatan angka harapan hidup.
Meski begitu, angka kelahiran harus tetap dikendalikan agar jumlahnya tidak meningkat lebih tinggi lagi. Melonggarkan kebijakan pengendalian jumlah penduduk hanya akan mejauhkan Indonesia dari kesempatan menikmati bonus demograsi lebih lama.
5.Pemerintah dapat melakukan diversifikasi kebijakan kependudukan yang sesuai kondisi di masing-masing wiayah, tidak lagi menerapkan kebijakan tunggal yang berlaku sama mulai dari pusat hingga daerah seperti saat ini. Kondisi angka kelahiran total (TFR) Indonesia dapat dibagi ke empat kelompok, provinsi TFR sangat rendah, di bawah 2,1, sudah 2,1 dan masih tinggi.
Data Bank Dunia menunjukkan, angka kelahiran total Indonesia pada 2014 adalah 2,46, sedangkan target mencapai penduduk tumbuh seimbang adalah TFR 2,1 pada 2025. Angka kelahiran ini diprediksi akan terus mengalami penurunan dan masing-masing provinsi akan sangat bervariasi kondisinya.
Jika mau mengatur angka kelahiran dalam rangka menurunkan TFR, konsentrasilah pada provinsi-provinsi dengan TFR masih tinggi, dan yang sudah rendah kebijakan yang diterapkan harus berbeda. Bukan dengan melonggarkan program KB, melainkan program peningkatan kualitas penduduk.
6. TFR perlu dipertahankan di angka 2,1. Jika dilonggarkan bisa jadi provokasi kalau Indonesia akan tempail sebagai salah satu negara maju seperti yang pernah diprediksi beberapa lembaga internasional tidak akan pernah terjadi akibat beban jumlah penduduk dan ketidakmampuan meningkatkan jumlah penduduk.
Negara bisa mempertahankan TFR 2,1 dengan harapan bonus demograsi bisa diperpanjang karena dalam proyeksi PSKK di satu sisi supai usia produktif tetap akan terjamin dan sisi lain tetap akan mengendalikan laju pertumbuhan penduduk (Penduduk tumbuh seimbang).
7. Kekhawatiran pemerintah akan tren penduduk yang menginginkan sedikit atau tidak mengingnkan anak seperti yang terjadi di negara-negara maju sebenarnya tidak perlu dikhawatirkan. Kultur Indonesia berbeda karena keluarga di Indonesia berbasis komunal dan bukan dinicidualisme sebagaimana di negara-negara maju dan di barat.
Pada kultur demikian, tidak perlu dikhawatirkan kalau keluarga akan memiliki sedikit anak atau bahkan tidak berniat memiliki anak karena pengasuhan anak dalam keluarga tidak hanya akan ditopang keluarga inti, tapi juga oleh extended family.
8. Konsistensi TFR pada angka 2,1 bisa tercapai jika strategi pengendalian penduduk selalu ditempatkan dalam konteks membangun keluarga yang berkualitas sesuai konteks daerah masing-masing dengan tujuan memaksimalkan hasil bonus demografi.